Minggu, 22 Mei 2016

Eksistensi Bimbingan dan Konseling Dalam Setiap Perubahan Kurikulum

Di manakah eksistensi Bimbingan dan Konseling setiap ada pergantian kurikulum? Pertanyaan itu selalu muncul di setiap benak Guru Bimbingan dan Konseling / Konselor . Telah kita ketahui bersama bahwa adanya kurikulum baru pasti didahului adanya regulasi yang mengatur secara teknis jalannya  kurikulum tersebut. Namun regulasi yang diluncurkan pemerintah berkaitan dengan perubahan kurikulum terkadang hanya menyentuh pada guru mata pelajaran terbukti dengan terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan yang isinya mengatur jalannya pembelajaran seperti bentuk penilaian, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ( RPP), dll. Sedangkan Guru Bimbingan dan Konseling / Konselor untuk membuat Rencana Pelaksanaan Layanan ( RPL ) masih harus berkreasi dan berinovasi sendiri sebab sampai sekarang belum ada aturan yang baku yang diperlakukan sebagaimana guru mata pelajaran.
Namun demikian Kurikulum 2013 merupakan tonggak sejarah bagi bimbingan dan konseling karena keberadaannya diatur secara khusus dalam peraturan menteri yakni Permendikbud Nomor 111 Tahun 2014. Sebelum peraturan menteri ini diterbitkan sebenarnya kedudukan Bimbingan dan Konseling juga sudah jelas namun hanya dimasukkan ke dalam lampiran peraturan menteri sebelumnya. Sebagai Guru Bimbingan dan Konseling / Konselor kita patut bersyukur karena tidak ada yang perlu diperdebatkan lagi tentang jam masuk kelas atau rasio  guru bimbingan dan konseling dengan jumlah siswa karena aturannya sudah jelas. Sekarang yang perlu kita tunggu adalah buku petunjuk pelaksanaannya  agar tidak terjadi kebingungan di kalangan Guru Bimbingan dan Konseling /Konselor di lapangan.
Dengan keberadaan Bimbingan dan Konseling saat ini memang tidak lepas dari peran para pakar atau pemerhati Bimbingan dan Konseling yang tidak pernah lelah untuk memperjuangkan sampai diakui keberadaannya di setiap jenjang pendidikan  baik dasar maupun menengah.
Kalau kita menengok ke belakang dapat melihat bagaimana awal mula munculnya Bimbingan dan Konseling dalam konteks pendidikan di Indonesia, seperti yang dijelaskan (Boharudin ,2011 ) bahwa sejarah lahirnya Bimbingan dan Konseling di Indonesia diawali dari dimasukkannya Bimbingan dan Konseling (dulunya Bimbingan dan Penyuluhan) padasetting sekolah. Pemikiran ini diawali sejak tahun 1960. Hal ini merupakan salah satu hasil Konferensi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (disingkat FKIP, yang kemudian menjadi IKIP) di Malang tanggal 20 – 24 Agustus 1960. Perkembangan berikutnya tahun 1964 IKIP Bandung dan IKIP Malang mendirikan jurusan Bimbingan dan Penyuluhan. Tahun 1971 berdiri Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) pada delapan IKIP yaitu IKIP Padang, IKIP Jakarta, IKIP Bandung, IKIP Yogyakarta, IKIP Semarang, IKIP Surabaya, IKIP Malang, dan IKIP Menado. Melalui proyek ini Bimbingan dan Penyuluhan dikembangkan, juga berhasil disusun “Pola Dasar Rencana dan Pengembangan Bimbingan dan Penyuluhan “pada PPSP. Lahirnya Kurikulum 1975 untuk Sekolah Menengah Atas didalamnya memuat Pedoman Bimbingan dan Penyuluhan.
Tahun 1978 diselenggarakan program PGSLP dan PGSLA Bimbingan dan Penyuluhan di IKIP (setingkat D2 atau D3) untuk mengisi jabatan Guru Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah yang sampai saat itu belum ada jatah pengangkatan guru BP dari tamatan S1 Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan. Pengangkatan Guru Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah mulai diadakan sejak adanya PGSLP dan PGSLA Bimbingan dan Penyuluhan. Keberadaan Bimbingan dan Penyuluhan secara legal formal diakui tahun 1989 dengan lahirnya SK Menpan No 026/Menp an/1989 tentang Angka Kredit bagi Jabatan Guru dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Di dalam Kepmen tersebut ditetapkan secara resmi adanya kegiatan pelayanan bimbingan dan penyuluhan di sekolah. Akan tetapi pelaksanaan di sekolah masih belum jelas seperti pemikiran awal untuk mendukung misi sekolah dan membantu peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan mereka.
Sampai tahun 1993 pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah tidak jelas, parahnya lagi pengguna terutama orang tua murid berpandangan kurang bersahabat dengan BP. Muncul anggapan bahwa anak yang ke BP identik dengan anak yang bermasalah, kalau orang tua murid diundang ke sekolah oleh guru BP dibenak orang tua terpikir bahwa anaknya di sekolah mesti bermasalah atau ada masalah. Hingga lahirnya SK Menpan No. 83/1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya yang di dalamnya termuat aturan tentang Bimbingan dan Konseling di sekolah. Ketentuan pokok dalam SK Menpan itu dijabarkan lebih lanjut melalui SK Mendikbud No 025/1995 sebagai petunjuk pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Di Dalam SK Mendikbud ini istilah Bimbingan dan Penyuluhan diganti menjadi Bimbingan dan Konseling di sekolah dan dilaksanakan oleh Guru Pembimbing. Di sinilah pola pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di sekolah mulai jelas.
-Konselor Muda UBT-