Selasa, 07 Juni 2016

Prasangka dan Stereotip Budaya



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Banyak pihak yang menilai bahwa masyarakat Indonesia saat ini merupakan masyarakat berprasangka. Penilaian itu tentu bukan tanpa dasar. Saat ini masyarakat Indonesia memiliki kecurigaan yang akut terhadap segala sesuatu yang berbeda atau dikenal dengan istilah heterophobia. Segala sesuatu yang baru dan berbeda dari umumnya orang akan ditanggapi dengan penuh kecurigaan. Kehadiran anggota kelompok yang berbeda apalagi berlawanan akan dicurigai membawa misi-misi yang mengancam.
Prasangka merupakan anggapan dan pendapat yang kurang menyenangkan atau penilaian negatif yang tidak rasional, yang ditujukan pada individu atau suatu kelompok tertentu (yang menjadi objek prasangka), sebelum mengetahui, menyaksikan, menyelidiki objek-objek prasangka tersebut.
Prasangka erat kaitannya dengan stereotip, Stereotip adalah sebuah pandangan terhadap seseorang atau kelompok kemudian pandangan tersebut digunakan (disematkan) pada setiap anggota kelompok tersebut.
Stereotip bisa benar bisa juga salah. Pandangan seseorang terhadap suatu suku, bisa saja benar digunakan untuk menggambarkan individu dari suku tersebut. Namun juga bisa salah, karena tidak semua orang dari suku tersebut sama.
Stereotip muncul karena individu suka mencari kesamaan pada suatu keadaan tertentu dan tidak dapat menilai dan mengalami sekaligus dua hal yang berbeda di tempat yang berbeda secara bersamaan.
Dengan demikian, stereotip merupakan cara ampuh untuk melihat keadan dengan cara yang efisien, yaitu dengan cara mencocok-cocokkan. Stereotip sendiri sudah ada sejak zaman purbakala dulu..Stereotipe merupakan faktor yang secara otomatis dapat membentuk prasangka.

B. Rumusan Masalah
1      1.  Bagaimana cara menghindari prasangka dan streotip budaya?
2      2.   Bagaimana cara melakukan pendekatan etik dan emik?
        3.   Bagaimana bias budaya dapat menghambat proses konseling?

C. Tujuan
1     1.  Agar seorang konselor mampu memahami dan dapat menghindari prasangka dan stereotip budaya.
       2.  Agar seorang konselor mampu melakukakan pendekatan etik dan emik pada client secara effisien.
       3.  Agar seorang konselor mampu memahami apa saja yang dapat menghambat proses konseling.







BAB II
PEMBAHASAN

A.    Prasangka dan Stereotip Budaya
a.      Definisi Prasangka
Prasangka atau prejudice berasal dari kata latin yaitu prejudicium, yang pengertiannya sekarang mengalami perkembangan sebagia berikut :
a.          Semula diartikan sebagai suatu presenden, artinya keputusan diambil atas dasar pengalaman yang lalu.
b.         Dalam bahas Inggris mengandung arti pengambilan keputusan tanpa penelitian dan pertimbangan yagn cermat, tergesa-gesa atau tidak matang.
c.          Untuk mengatakan prasangka dipersyaratkan pelibatan unsur-unsur emosilan (suka atau tidak suka) dalam keputusan yang telah diambil tersebut
Prasangka dalam kamus besar bahasa Indonesia memiliki pengertian bahwa prasangka adalah pendapat (anggapan) yg kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui (menyaksikan, menyelidiki) sendiri. Dari pengertian diatas dapat kita garis bawahi dari prasangka adalah anggapan kurang baik. Sehingga kalau kita maknai bahwa prasangka itu adalah suatu anggapan yang kurang baik terhadap seseorang. Hal ini sering terjadi dalam sosialisasi dalam masyarakat.




a.      Faktor Penyebab Munculnya Prasangka
Prasangka ini dapat hadir dalam masyarakat karena beberapa faktor yaitu:
§  Belum saling mengenalnya antarindividu
§  Perbedaan pandangan dan sikap
§  Perbedaan visi dan misi
§  Perbedaan Kultur Kebudayaan
§  Perbedaan prinsip
Faktor-faktor itulah yang menyebabkan seringnya seseorang berprasangka pada orang lain. Faktor pada point pertama merupakan faktor yang paling sering memicu prasanga, Hal ini terjadi karena orang yang belum dikenal biasanya membuat orang disekitarnya berprasangka pada apa yang dilakukannya, karena orang tersebut tidak mengetahui watak dan sifat orang yang belum dikenal.
Terkadang Prasangka-prasangka yang berlebihan akan membuat suatu masyarakat terpecah menjadi kelompok. Kelompok-kelompok ini terjadi akibat dari prasangka yang berlebihan terhadap kelompok lainnya akibat prasangka yang menyebabkan Diskriminasi. Dalam kamus besar bahasa Indonesia Diskriminasi dapat diartikan sebagai pembedaan sikap dan perlakuan terhadap sesama manusia. Dalam pengertian tersebut ada 1 kata penting yaitu pembedaan. Jika kita kaitkan dengan istilah prasangka, Diskriminasi merupakan puncak dari Prasangka, dalam artian bahwa Prasangka yang berlebihan akan membuat Diskriminasi.
b.      Definisi Stereotip
Stereotip adalah sebuah pandangan terhadap seseorang atau kelompok kemudian pandangan tersebut digunakan pada setiap anggota kelompok tersebut.
Stereotip mendasari  terbentuknya  prasangka. Dasar  informasi  yang  diyakini benar tentang objek yang diprasangkai, biasanya merupakan stereotip. Misalkan anda percaya bahwa orang yang memiliki RAS cina itu pelit, dsb.
Stereotip muncul karena individu suka mencari kesamaan pada suatu keadaan tertentu dan tidak dapat menilai dan mengalami sekaligus dua hal yang berbeda di tempat yang berbeda secara bersamaan. Dengan demikian, stereotip merupakan cara ampuh untuk melihat keadan dengan cara yang efisien, yaitu dengan cara mencocok-cocokkan. Stereotip sendiri sudah ada sejak zaman purbakala dulu.
c.       Faktor Penyebab Munculnya Streotip
Ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya stereotip, yaitu :
1.      Manusia ingin menyederhanakan dalam melihat realitas dunia yang kompleks. Keterbasan manusia memahami sesuatu yang kompleks membuatnya mencari persamaan-persamaan yang ada lalu memberi penilaian dengan pandangan yang sudah terbentuk dalam pikirannya.
2.      Manusia membutuhkan cara yang efisien dan ekonomis untuk membentuk gambaran dunia sekitarnya.
3.      Manusia membutuhkan pertahanan diri lalu menggunakan stereotip untuk menutupi kelemahannya.
4.      Manusia tidak mungkin mendapatkan informasi yang menyeluruh terhadap keadaan-keadaan yang ada. Dengan itu manusia membutuhkan informasi-informasi dari pihak lain dan menyandarkan pandangannya terhadap informasi yang ia terima, lalu muncullah stereotip.

Pada zaman sekarang ini, stereotip sangat mudah untuk diciptakan. Perkembangan dan kekuatan media menyebarkan informasi dan opini merupakan faktor utama mempercepat terbentuknya stereotip di tengah masyarakat.
Sebelum ditemukannya teknologi informasi, stereotip muncul dari informasi-informasi bersifat oral langsung (berhadap) ataupun tulisan yang bersifat terbatas. Dalam keadaan seperti ini, stereotip muncul secara perlahan-lahan. Karena banyak faktor-faktor yang membuat informasi menjadi terhalanga, seperti geografis dan sumber informasi.
Namun dizaman teknologi informasi sekarang ini, semua penghalang sudah berjatuhan. Letak geografis tidak lagi menjadi penghambat masukkan informasi ke tengah masyarakat. Selain sumber-sumber informasi berupa media cetak dan elektronik membanjiri kehidupan masyarakat dengan biaya yang murah dan mudah di akses.
Untuk mengetahui sifat-sifat orang Amerika misalnya, tidak perlu lagi harus ke sana atau mendengar langsung dari orang Amerika. Tapi cukup dengan informasi melalui media televisi, koran, maupun internet yang mudah di akses.
Perkembangan teknologi informasi ini, bukan saja memudahkan berkembangnya steoritip tapi juga bisa menjadi alat untuk menciptakan steoritip itu sendiri untuk berbagai kepentingan. Lihat saja bagaimana televisi misalnya menyuguhkan gambaran orang Arab sebagai pelaku teroris. Ini bukan soal kebenaran tayangan, tapi televisi sudah menjadi alat propaganda.
Demikian pula film-film, bukan hanya bersifat hiburan tapi juga sebagai alat membentuk pikiran umum masyarakat tentang suatu keadaan. Film Rambo misalnya, mengajak masyarakat untuk melihat betapa hebat dan penolongnya Amerika serta menggambarkan kecurangan dan kesewenangan tentara vietnam pada waktu itu.
Namun, selain media mampu mempercepat munculnya stereotip, media juga ampuh untuk membendung stereotip itu sendiri. Contoh stereotip gambaran orang Amerika yang diskriminatif terhadap kulit hitam coba dibendung dengan menampilkan tokoh-tokoh kulit hitam di banyak film maupun sebagai pembawa acara, seolah-olah Amerika tidak memberikan pembedaan berdasarkan warna kulit.
Pada umumnya, stereotip bernilai negatif, meskipun ada bersifat positif,  sangat jarang dan pada akhirnya juga dapat membawa sikap angkuh, berlebihan, dan tidak tahu diri, karena tidak berdasarkan realitas yang ada. Misalnya, ada muncul stereotip bahwa Yahudi adalah bangsa yang pintar. Stereotip ini dapat meningkat identitas diri, namun ini menjadi petaka menyebabkan kesombongan dan tidak tahu diri. Yahudi ada yang pintar dan ada yang bodoh, sama halnya dengan bangsa-bangsa lainnya. Semua bangsa sama. Stereotip tersebut tidak benar adanya.
d.      Nilai Negatif Stereotip
Berikut nilai-nilai negatif dari stereotip itu:
§  Melanggar nilai-nilai moral kemanusiaan.
Stereotip yang disematkan kepada suatu individu, ataupun kelompok sudah tentu mencederai perasaan anggota masyarakat tersebut. Betapa tidak enaknya kalau setiap orang Minang dianggap pelit, Melayu pemalas, Jawa lain di bibir lain di hati, orang Indonesia pemalas dan jam karet.

§  Tidak fair.
Setiap individu tidaklah sama, mereka memiliki perbedaan watak dan sifat masing-masing. Sementara stereotip memuculkan sebuah pandangan terhadap kelompok tertentu dengan menyamakan sifat dan watak mereka. Setiap orang itu unik dan berbeda satu sama lainnya

§  Mengakibatkan masyarakat berpikiran sempit.
Pandangan negatif yang dicitrakan oleh stereotip terhadap orang Batak misalnya, menyebabkan masyarakat berpikiran sempit terhadap suku ini. Sehingga masyarakat tidak dapat berpikir terbuka akan sifat-sifat baik yang dimiliki suku tersebut.

e.    Cara Mengolah Prasangka
Aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam mengelola prasangka, antara lain :
§  Efek Sosialisasi
Salah satu pemecahan untuk mengurangi prasangka adalah dengan mengubah proses sosialisasi awal. Bila orang tidak mulai diajar untuk berprasangka, mungkin prasangka itu nantinya tidak akan berkembang.
§  Peran Pendidikan Tinggi
Orang yang pernah duduk di perguruan tinggi biasanya memiliki prasangka yang lebih sedikit dibandingkan orang yang tidak pernah.  Salah satu faktor penting yang menentukan pengaruh pendidikan tinggi adalah adanya norma kelompok teman sebaya yang baru.
§  Kontak Langsung
Ada keyakinan bahwa kontak dapat menghilangkan stereotip, dan bahwa kedekatan dan interaksi biasanya dapat meningkatkan rasa suka. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa peningkatan kontak dapat mengurangi antagonisme, prasangka, dan stereotip.

B.     Perspektif  Emik dan Etik
Etik mencakup pada temuan-temuan yang tampak konsisten atau tetap di berbagai budaya, dengan kata lain sebuah etik mengacu pada kebenaran atau prinsip yang universal. Etik merupakan penggunaan sudut pandang orang luar yang berjarak (dalam hal ini siapa yang mengamati) untuk menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat.
Dalam konseling lintas budaya menggunakan perspektif objektif ini seorang konselor akan menggunakan dua pendekatan kebudayaan yang berbeda terhadap klien. Penggunaan perbedaan kebudayaan dilakukan untuk menunjukkan dimensi dan variabilitas kebudayaan dan untuk menunjukkan bahwa teori-teori komunikasi antar budaya tidak dimaksudkan untuk meneliti perbedaan budaya. Emik Etik Peneliti mempelajari perilaku manusia dari luar kebudayaan objek konseling, konselor menguji banyak kebudayaan dan membandingkan kebudayaan tersebut, Struktur kebudayaan ditemukan sendiri oleh konselor, Struktur diciptakan oleh konselor, Umumnya kriteria-kriteria yang diterapkan ke dalam karakteristik kebudayaan sangat realtif, Kriteria-kriteria kebudayaan bersifat mutlak dan berlaku universal.
Sedangkan emik sebaliknya, mengacu pada temuan-temuan yang tampak berbeda untuk budaya yang berbeda, dengan demikian, sebuah emik mengacu pada kebenaran yang bersifat khas-budaya misalnya, mencoba menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat dengan sudut pandang masyarakat itu sendiri. Pada prinsipnya dalam konseling yang menggunakan perspektif emik maka konselor “menjadikan dirinya” sebagai bagian dari kebudayaan klien, atau dengan kata lain, konselor bertindak sebagai individu penuh karena dia masuk dalam suatu struktur budaya tertentu. proses konseling Pendekatan emikpun sering menyebabkan atau menjadikan konselor menarik kesimpulan tentang suatu budaya tertentu berdasarkan ukuran-ukuran yang berlaku pada kebudayaan klien.
Karena implikasinya pada apa yang kita ketahui sebagai kebenaran, emik dan etik merupakan konsep-kosep yang kuat. Kalau kita tahu sesuatu tentang prilaku manusia dan menganggapnya sebagai kebenaran, dan hal itu adalah suatu etik (alias universal), maka kebenaran sebagaimana kita ketahui itu adalah juga kebenaran bagi semua orang dari budaya apa pun.
Pendekatan emik dalam hal ini memang menawarkan sesuatu yang lebih obyektif. Karena tingkah laku kebudayaan memang sebaiknya dikaji dan dikategorikan menurut pandangan orang yang dikaji itu sendiri, berupa definisi yang diberikan oleh masyarakat yang mengalami peristiwa itu sendiri. Bahwa pengkonsepan seperti itu perlu dilakukan dan ditemukan dengan cara menganalisis proses kognitif masyarakat yang dikaji dan bukan dipaksakan secara etnosentrik, menurut pandangan peneliti.
Jika yang kita ketahui tentang prilaku manusia dan yang kita anggap sebagai kebenaran itu ternyata adalah suatu emik (alias bersifat khas-budaya), maka apa yang kita anggap kebenaran tersebut belum tentu merupakan kebenaran bagi orang dari budaya lain.
Secara sangat sederhana dapat saya simpulkan bahwa emik mengacu pada pandangan konselor terhadap kebudayaan klien, sedangkan etik mengacu pada pandangan konselor terhadap kebudayaan secara keseluruhan dalam proses konseling.
Jadi dengan konsep atau landasan teori maka dalam melakukan proses hubungan konseling dengan klien, maka pendekatan yang akan saya lakukan adalah memahami klien seutuhnya. Memahami klien seutuhnya ini berarti yang harus saya lakukan adalah bisa atau dapat memahami budaya klien secara spesifik yang mempengaruhi klien, memahami keunikan klien dan memahami manusia secara umum atau universal yang sifatnya keseluruhan(Etik).

C.    Bias Budaya Yang Menghambat Proses Konseling
a.      Usia
Setiap periode usia individu memiliki tugas perkembangan dan kebutuhan-kebutuhan untuk melaksanakan tugas perkembangan dan memenuhi berbagai kebutuhuan tersebut. Setiap periode usia mempunyai nilai-nilai budaya usia masing-masing. Hal itu terkadang menjadi masalah dalam pelaksanaan konseling karena adanya perbedaan kebutuhan, kebiasaan, gaya hidup dan nilai budaya tertentu dalam setiap rentangan usia.

Contoh:
Guru yang menganggap murid kurang ajar karena membahas masalah onani/ masturbasi. Pada golongan muda membahas soal sex bukan soal yang tabu lagi namun bagi sebagian guru yang usianya berbeda jauh dengan siswa menganggap hal itu adalah kurang ajar.

b.      Jenis Kelamin (Gender)
Perbedaan Jenis kelamin menjadi perbincangan sejak jaman dahulu perbedaan jenis kelamin mempengaruhi konseling karena terkadang konselor laki-laki mempunyai stereotip terhadap perempuan yang bersifat kurang mandiri, kurang tegas, dan kurang berani mengambil resiko. Konselor perempuan kadang menganggap laki-laki tidak boleh cengeng dan tegas. Namun, jika dalam proses konseling baik laki-laki atau perempuan menampakkan sikap yang tidak sepatutnya menurut gender mereka maka terkadang konselor menganggap aneh dan salah.


Contoh :
Konseli laki-laki ia kurang tegas, berbicara seperti perempuan dan sering menangis maka konselor di suatu tempat menyuruh konseli untuk tegas dalam berbicara selayaknya laki-laki.

c.       Ras dan Etnis
Ras adalah penggolongan bangsa berdasarkan ciri-ciri fisik; rumpun bangsa, Sedangkan suku merupakan masyarakat yang tergabung dalam satu kelompok. Perbedaan suku yang menjadi kendala dalam konseling karena masing- masing suku memiliki kebiasaan, falsafah hidup, dan nilai budaya yang berbeda- beda. Selain itu golongan minoritas terkadang disamaratakan oleh golongan mayoritas.

Contoh:
Konseli yang berasal dari suku bali dan konselor yang berasal dari suku jawa melaksanakan konseling.














BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Prasangka adalah anggapan kurang baik. Sehingga kalau kita maknai bahwa prasangka itu adalah suatu anggapan yang kurang baik terhadap seseorang. Sedangkan stereotip adalah sebuah pandangan terhadap seseorang atau kelompok kemudian pandangan tersebut digunakan pada setiap anggota kelompok tersebut. Hubungan strerotip dengan prasangka adalah bahwa streotip merupakan salah satu penyebab munculnya prasangka.
Dalam konseling lintas budaya digunakan perspektif etik dan emik, seorang konselor akan menggunakan dua pendekatan kebudayaan yang berbeda terhadap klien.. Etik merupakan penggunaan sudut pandang orang luar yang berjarak (dalam hal ini siapa yang mengamati) untuk menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat. Sedangkan, emik mengacu pada kebenaran yang bersifat khas-budaya misalnya, mencoba menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat dengan sudut pandang masyarakat itu sendiri.
Bias budaya yang menghambat proses konseling disebabkan faktor-faktor, antara lain; usia, jenis kelamin, ras dan etnik.

Landasan dan Identitas Religius Konselor




 BAB I
PENDAHULUAN
A.      LATAR BELAKANG
Manusia adalah makhluk individual dan sosial sekaligus makhluk yang berketuhanan. Sepanjang manusia hidup, manusia tidak pernah lepas dari masalah. Namun, ada individu yang mampu menghadapi masalahnya dengan bijaksana dan sebaliknya ada juga individu yang menghadapi masalahnya dengan gejolak emosi yang tidak terkendali. Kekuatan nafsu yang mendorong sikap dan perilaku seringkali membuat individu yang bermasalah semakin bermasalah, sebaliknya jiwa yang tenang dan mendapat petunjuk dari Allah akan menghadapi masalahnya dengan tenang, sehinga tidak sampai menjerumuskan dirinya pada masalah yang lebih pelik.
Tidak jarang pula terjadi manusia yang mengalami satu masalah dan tidak mampu mengatasi masalahnya, sehingga akan membuatnya mengalami masalah-masalah berikutnya. Masalah berikutnya tersebut seringkali bertambah kompleks dan bertambah sulit penyelesaiannya. Untuk itu, seorang manusia kadang membutuhkan bantuan orang lain untuk memecahkan masalahnya. Dalam hal ini, konseling menjadi alternatif penting dalam membantu individu memecahkan masalahnya. Namun seperti telah disebut di atas, manusia adalah makhluk yang berketuhanan. Sehingga dalam layanan bimbingan dan konseling pun harus berlandaskan asas ketuhanan atau landasan religius. Yang mana seorang konselor bukan hanya memandang kliennya sebagai makhluk Tuhan, tetapi juga harus memiliki pemahaman tentang nilai-nilai keagamaan dan juga komitmen yang kuat untuk mengamalkannya dalam kehidupan pribadi, masyarakat, dan juga dalam layanan bimbingan dan konseling. Untuk itulah, menambah wawasan mengenai landasan dan identitas religius dan implementasinya bagi pengembangan pribadi konselor tentu akan membantu kita dalam menambah kualitas kepribadian diri sebagai calon konselor, juga sebagai titik loncatan dalam pencapaian konseling yang efektif.

B.            RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini sebagai berikut.
1.      Apa yang dimaksud dengan landasan religius bagi konselor?
2.      Bagaimana karakteristik seorang konselor yang berpegang teguh pada agama?

























                                                    


BAB II
PEMBAHASAN
A.           Landasan Religius
Agama (Religion) berasal dari kata Latin “religio”, berarti “tie-up”. Dalam bahasa Inggris, Religion dapat diartikan “having engaged ‘God’ atau ‘The Sacred Power’. Secara umum di Indonesia, Agama dipahami sebagai sistem kepercayaan, tingkah laku, nilai, pengalaman dan yang terinstitusionalisasi, diorientasikan kepada masalah spiritual/ritual yang diterapkan dalam sebuah komunitas dan diwariskan antar generasi dalam tradisi.
            Ditegaskan pula oleh Moh. Surya (2006) bahwa salah satu tren bimbingan dan konseling saat ini adalah bimbingan dan konseling spiritual. Berangkat dari kehidupan modern dengan kehebatan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemajuan ekonomi yang dialami bangsa-bangsa Barat yang ternyata telah menimbulkan berbagai suasana kehidupan yang tidak memberikan kebahagiaan batiniah dan berkembangnya rasa kehampaan. Dewasa ini sedang berkembang kecenderungan untuk menata kehidupan yang berlandaskan nilai-nilai spiritual. Kondisi ini telah mendorong kecenderungan berkembangnya bimbingan dan konseling yang berlandaskan spiritual atau religi.
Pemahaman agama di sekolah sangat penting untuk pembinaan dan penyempurnaan pertumbuhan kepribadian anak didik, karena pendidikan agama mempunyai dua aspek penting yaitu :
1.      Aspek pertama dari pendidikan agama, adalah ditujukan kepada jiwa atau pembentukan kepribadian.
2.      Aspek kedua dari pendidikan agama, adalah ditujukan kepada pikiran atau pengajaran agama itu sendiri.





Ada beberapa peran agama dalam kesehatan mental, antara lain :
1.      Dengan agama dapat memberikan bimbingan dalam hidup
2.      Aturan agama dapat menentramkan batin.
3.      Ajaran agama sebagai penolong dalam kebahagiaan hidup
4.      Ajaran agama sebagai pengendali mora
5.      Agama dapat menjadi terapi jiw
6.      Agama sebagai pembinaan mental
Landasan religius bimbingan dan konseling pada dasarnya ingin menetapkan klien/siswa sebagai makhluk Tuhan dengan segenap kemuliaannya menjadi fokus sentral upaya bimbingan dan konseling (Prayitno dan Erman Amti, 2003: 233).
Pendekatan bimbingan dan konseling yang terintegrasi didalamnya dimensi agama, ternyata sangat disenangi oleh masyarakar Amerika dewasa ini. Kondisi ini didasarkan kepada hasil polling Gallup pada tahun 1992 yang menunjukkan:
1.      Sebanyak 66% masyarakat menyenangi konselor yang profesional, yang memiliki nilai-nilai keyakinan dan spiritual.
2.       Sebanyak 81% masyarakat menyenangi proses konseling yang memperhatikan nilai-nilai keyakinan (agama).

B.            Hakikat Manusia menurut Agama
Menurut sifat hakiki manusia adalah makhluk beragama (homo religius), yaitu makhluk yang mempunyai fitrah untuk bisa memahami dan menerima nilai-nilai kebenaran yang bersumber dari agama, juga sekaligus menjadikan kebenaran agama itu sebagai rujukan (referensi) sikap dan perilakunya.
Fitrah beragama ini merupakan potensi yang arah perkembangannya amat tergantung pada kehidupan beragama lingkungan di mana seorang (anak) itu hidup, terutama dilingkungan keluarga. Dalil yang menunjukkan manusia mempunyai fitrah Qs. Al-Araf 172.
Seperti halnya fitrah beragama, maka hawa nafsu pun merupakan potensi yang melekat pada  setiap diri individu. Keberadaan hawa nafsu itu di samping memberikan manfaat juga dapat melahirkan madharat (ketidaknyamanan dalam kehidupan, baik personal maupun sosial). Individu dapat mengendalikan hawa nafsunya ( bukan membunuh ) dengan cara mengembangkan takwanya.
Dengan membaca ayat-ayat Al-qur’an yang menjelaskan tentang penciptaan manusia, dapat diperoleh gambaran tentang potensi-potensi yang diberikan kepada manusia untuk mengarungi kehidupan.
Pandangan Achmad Mubarok (2000:135 dalam Erhamwilda, 2009): “Surat Al-sajdah (32):7-9 secara jelas mengisyaratkan potensi manusia berupa hubungan jasad dengan bekerjanya fungsi-fungsi nafs. Roh kehidupan manusia baru ada ketika organ-organ kelengkapan jasadnya telah sempurna, dan fungsi-fungsi pendengaran, penglihatan, dan hati baru bekerja berangsur-angsur setelah organ-organ jasadnya berfungsi secara sempurna. Sistem jasad dan nafs manusia mempunyai unsur-unsur yang sangat komlekssehingga perubahan-perubahan stimulus dan perbedaan-perbedaan motivasi akan memengaruhi kapasitas dan kualitas kejiwaan manusia”.
Dari penjelasan tersebut tampak bahwa manusia oleh sang pencipta diberikan potensi jasad dan roh yang membuat berfungsinya nafs, dan manusia juga diberikan pendengaran, penglihatan dan hati yang akan mewujudkan fungsi nafs.
Ketiga potensi tersebut merupakan potensi dasar yang diberikan kepada manusia agar manusia bisa mengenal dunia dan penciptanya sert seharusnya manusia tunduk kepada penciptanya. Manusia juga diingatkan agar selalu bersyukur atas dianugerahkannya ketiga potensi tersebut, karena tanpa ketiga potensi tersebut, manusia tidak tahu apa-apa.addapun cara mensyukuri ketiga potensi itu adalah antara lain dengan menggunakannya untuk mendengar, melihat dan menghayati kebesaran Tuhan Yang Maha Esa.
Selain itu, manusia juga mempunyai dua potensi yaitu ketakwaan dan kejahatan. Dalil yang menunjukkan dua potensi tersebut : Qs. Asysyamsu : 8-10
Dengan mengamalkan ajaran agama berarti manusia telah mewujudkan jati dirinya, identitas dirinya yang hakiki sebagai Abdullah ( Hamba Allah ) dan khalifah. Sebagai khalifah berarti manusia menurut fitrahnya adalah makhluk sosial yang bersifat altruis (sikap sosial untuk membantu orang lain ) sebagai hamba dan khalifah Allah, manusia mempunyai tugas suci yaitu ibadah atau mengabdi kepada-Nya.
C.           Peranan Agama
Agama sebagai pedoman hidup bagi manusia telah memberikan petunjuk (hudan) tentang berbagai aspek kehidupan, termasuk pembinaan atau pengembangan mental (rohani) yang sehat sebagai petunjuk hidup.
Agama  berfungsi sebagai berikut :
1.      Memelihara Fitrah
Manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci) namun manusia mempunyai hawanafsu. Agar manusia dapat mengendalikan hawanafsunya maka manusia harus beragama atau bertakwa kepada Allah.
2.      Memelihara Jiwa
Dalam memelihara kemuliaan jiwa manusia, agama mengharamkan atau melarang manusia melakukan penganiayaan, penyiksaan, baik terhadap dirinya sendirimaupun orang lain.
3.      Memelihara Akal
Dengan akalnya, manusia memiliki; (a) kemampuan untuk membedakan yang baik dan buruk, atau memahami dan menerima nilai-nilai agama, dan (b mengembangkan ilmu dan teknologi atau mengem bangkan kebudayaan.
4.      Memelihara Keturunan
Agama mengajarkan kepada manusia tentang cara memelihara keturunan atau sistem regenerasi yang suci ; aturan atau norma itu adalah pernikahan agama, pernikahan bertujuan untuk mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah dan warrohmah.

Pendidikan agama harus dimulai dari rumah tangga, sejak si anak masih kecil. Pendidikan tidak hanya berarti memberi pelajaran agama kepada anak-anak yang belum lagi mengerti dan dapat menangkap pengertian-pengertian yang abstrak.
Akan tetapi yang terpokok adalah penanaman jiwa percaya kepada Tuhan, membiasakan mematuhi dan menjaga nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang ditentukan oleh ajaran agama.
Menurut pendapat para ahli jiwa, bahwa yang mengendalikan kelakuan dan tindakan seseorang adalah kepribadiannya. Kepribadian tumbuh dan terbentuk dari pengalaman-pengalaman yang dilaluinya sejak lahir. Bahkan mulai dari dalam kandungan ibunya sudah ada pengaruh terhadap kelakuan si anak dan terhadap kesehatan mentalnya pada umumnya. Dengan memberikan pengalaman-pengalaman yang baik, nilai-nilai moral yang tinggi, serta kebiasaan-kebiasaan yang sesuai dengan ajaran agama sejak lahir, maka semua pengalaman itu akan menjadi bahan dalam pembinaan kepribadian.
Dengan demikian, pendidikan Agama Islam berperan membentuk manusia Indonesia yang percaya dan takwa kepada Allah SWT, menghayati dan mengamalkan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-sehari, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan bermasyarakat, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air, agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.
Menurut ZakiahDaradjat(1988) salah satu peranan agama adalah sebagai terapi (penyebutan) bagi gangguan kejiwaan. Sedangkan menurut Surya (1977) mengemukakan bahwa agama memegang peranan sebagai penentu dalam proses penyesuaian diri (diposkan oleh Iis Rohmawati dalam blognya: Bimbingan dan Konseling pada 17 november 2012 di http://iisrohmawati22.blogspot.com/).
Agama merupakan sumber nilai, kepercayaan dan pola-pola tingkahlaku yang akan memberikan tuntunan bagi arti, tujuan dan kestabilan hidup umat manusia.
Pemberian layanan bimbingan semakin diyakini kepentingannya bagi anak atau siswa, mengingat dinamika kehidupan, masyarakat dewasa ini cenderung lebih kompleks, terjadi perbenturan antara berbagai kepentingan yang bersifat kompetitif, baik menyangkut aspek politik, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, maupun aspek-aspek yang lebih khusus tentang perbenturan ideologi, antara yang hak dan batil.
Dinamika kehidupan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi turut memberikan andil besar dalam dekadensi moral atau pelecehan nilai-nilai agama, baik dikalangan orang dewasa, remaja maupun anak-anak. Mengapa dekadensi moral khususnya dikalangan remaja, itu semakin marak? Dalam halini ZakiahDarajat (1973:12) mengemukakan bahwa masalah itu sebabkan untuk beberapa faktor, seperti: kurang tertanamnya jiwa agama pada tiap-tiap orang dalam masyarakat, keadaan masyarakat  yang kuranng stabil baik segiekonomi, social, maupun politik. Pendidikan moral tidak terlaksana menurut mestinya, baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat; dijualnya dengan bebas alat-alat kontrasepsi dan iklim keluarga yang tidak harmonis.
Berikut adalah salah satu pendapat Ahli Indonesia tentang pengaruh agama terhadap kesehatan mental.
1.      DadangHawariIdries (psikiater) mengemuk akan bahwa dari sejumlah penelitian para ahli bisa disimpulkan (a) komitmen agama dapat mencegah dan melindungi seseorang dari penyakit-penyakit dan mempercepat pemulihan penyakit . (b) Agama lebih bersifat protektif dan pada problem-problem producing, (3) komitmen agama mempunyai hubungan tignifikan dan positif dengan dinital berefit
2.      ZakiahDarajat( 1982;58) mengemukakan bahwa apabila manusia ingin terhindar dari kegelisahan, kecemasan, dan ketegangan jiwa serta ingin hidup tenang, tentram dan dapat membahagiakan orang lain, maka hendaklah manusia percaya kepada  Allah dan hidup mengamal kanajaran agama. Agama bukanlah dogma tetapi agama adalah kebutuhan jiwa yang perludipenuhi.
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa agama mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kesehatan mental individu. Kata-kata penyakit bukan hanya diistilahkan penyakit secara fisik, tapi juga penyakit-penyakit hati manusia, antara lain sebagai berikut.
1.      Al-Isyaraa kubillah ; menyukutukan Allah atau meyakini adanya Tuhan - tuhan lain selain Alla
2.      Riya ; bersikap pamer, keinginan untuk dipujioleh orang lain dalam melakukan suatu amal bukan untuk mencari ridha Allah
3.      Al-kufru Riallaah ; menolak perintah dan larangan Allah
4.      Annifaaq ; sikap ragu dalam beriman kepada Allah, atau krakteristik seseorang yang suka berbohong atau berdusta
5.      Al-hasad ;sikapdengki, dendam kesumat atau irihati terhadap kenikmatan yang diperoleh orang lain dan berkeinginan untuk melenyapkan atau mencelakakannya.
6.      Al-Ifsaad ; sikap dan prilaku destruktif , trouble maken, menganggu kenyamanan hidup orang lain atau merusak lingkungan hidup.
7.      Takabur ; sikapsombong, arogan, suka membangga-banggakan diri dan cenderung suka menghina orang lain
8.       Bathil ; kikir, tidak mau menafkahkan harta kekayaannya dijalan Allah
9.      Hubbuddunya ; sangat mencintai dunia dan melupakan akhirat
10.  Hubbusy syahawaat:  mempertuhankan hawa nafsu, mengikuti dorongan hawa nafsu
11.  Al-hazan ; selalu merasa cemas, sedih, stress atau mudah frustas
12.  Al-kasal ; sikap malas atau keengganan untuk melakukan kebaika
13.  Su’udhan ; berburuk sangka kepada orang lain
Apabila seseorang memiliki penyakit-penyakit hati diatas berarti diatelah mengidap penyakit rohaniah yang mencampakkan nilai-nilai kemanusiaanya sehingga dia termasuk golongan manusia yang “khusrin” atau “aspalasaafilin” ( kedudukan yang sangat hina disisi Allah ).
Uraian diatas menerangkan tentang pentingnya peranan agama dalam kesehatan moral, maka memberikan pelayanan bimbingan yang terintegrasi didalamnya, dari para konselor atau pembimbing



D.           Perbedaan Agama Konselor-Klien
Sebagaimana telah kita tahu bahwa tugas seorang pembimbing atau konselor di antaranya adalah membantu tingkah laku klien atau si terbimbing menuju kkondisi yang adequate. Untuk itu, diperlukan metode pengubahan tingkah laku atau pendekatan dalam bimbingan dan konseling. Menggunakan ajaran agama sebagai dasar pengubahan tingkah laku sebagai konseling alternatif merupakan hal yang dapat dilakukan oleh petugas bimbingan. Sebagai rasionalisasi adalah seperti yang diungkapkan oleh worthington, 1988 (Dalam Bimbingan Konseling Islami 2009 oleh Elfi Mu’awanah dan Rifa Hidayah) bahwa dewasa ini di dunia barat minat mengkaji agama yang dibangkitkan oleh para ahli di lapangan konseling. Ia berpendapat bahwa perbedaan nilai yang serius harus pantang mundur dan dihadapi melalui diskusi secara terbuka, dan jika perlu mereferal kepada konselor yang lain. Sementara Beutler, Pollack, dan Joe mengatakan bahwa dalam mengkonseling klien yang membawa nilai tertentu tidak berarti bahwa seorang konselor harus mengubah nilai-nilai yang ia miliki sendiri, alih-alih untuk dapat bekerja sama secara efektif dengan kliennya. Akan tetapi, konselor berfungsi memantulkan pada pandangan nilai-nilai agama klien. Hal yang demikian hendaknya dilakukan oleh konselor Indonesia. Mengingat sikap konselor kepada nilai-nilai agama klien mempunyai dampak yang sangat besar terhadap perkembangan perasan klien.
Upaya penelitian bidang agama dalam hubungannya dengan konseling, juga dilakukan oleh Bergin (1984), misalnyadi dalam penelitiannya ia menemukan 46% responden dari ahli kesehatan mental yang ia survey, mereka menyetujui bahwa seluruh pendekatan kehidupan mereka didasarkan pada agamanya.
Demikian halnya dengan Bishop (1992), menurutnya perbedaan nilai keagamaan yang dimilliki antara konselor dan klien ternyata dapat meningkatkan keefektifan konseling. Sebaliknya, meskipun ada persamaan nilai agama antara konselor dan klien belum menjadi jaminan keberhasilan konseling. Perbedaan nilai agama antara konselor dan klien dapat meningkatkkan efektivitas konseling, jika terapis mengasosiasikan keyakinannya kepada kliennya, dan kliennya memusatkan kepercayaannya kepada terapisnya, dan konselor-klien memendang nilai agama dari perspektif lintas budaya. Penerimaan terhadap sikap dan nilai—nilai klien ini bag konselor selanjutnya akan mempermudah perbaikan dan penyediaan/pemberian perlakuan dan intervensi yang konsisten pada kepercayaan klien yang dapat menambah hasil perlakuannya.
Adanya perbedaan nilai anara konselor dan klien, merupakan tanggung jawab konselor untuk mengarahkan nilai yang dipegang oleh klien yang ia bantu dan menempatkan nilai-nilai klien yang berbeda dalam konteks lintas-budaya. Konselor secara terbuka mungkin dapat memberikan ppenjelasan terhadap nilai-nilai agama klien sebagai bagian yang biasa dilakukan dalam konseling. Misalnya, mengenai tempat konseling, tanggung jawab penerimaan, kepercayaan kepada Tuhan, dan dalam hal dosa, selalu harus dieksplorasi berkaitan dengan tanggung jawab konseling. Isu ini bisa dihubungkan dengan nilai-nilai agama yang senantiasa memainkan peran dalam masalah yang diajukan oleh klien. Konselor harus hati-hati dalam mengeksplorasi nilai-nilai agama kliennya, dalam menerima dan memahami masalah-masalah kliennya untuk meningkatkan hasil tarapeutik yang positif.
Keterbukaan konselor-klien dapat mengurangi kemungkinan akan terjadinya konflik nilai yang  berat dan membawa kecocokan bagi keduanya dan menghilangkan konflik. Bishop memberikan petunjuk kepada konselor agar konselor dapat bekerja sama dengan kliennya walaupun terdapat perbedaan nilai dan latar kebudayaan.
Peneliti selanjutnya adalah peneliti yang menemukan pentignya spiritua dalam proses terapi dan konseling, pentingnya nilai agama dijadikan pijakan dalam proses konseling dan psikoterapi bahkan rohaniawan kristen (konseling pastoral) yang menjadi seorang konselor lebih dicari oleh klien daripada konselor umum. Ketiga garis besar penelitian ini diungkap oleh peneliti, baik dalam disertai mereka maupun dalam jurnal-jurnal penelitian.

E.            Persyaratan Konselor
Landasan religious dalam bimbingan dan konseling, mengimplikasikan bahwa konselor sebagai “helper” pemberi bantuan dituntut untuk memiliki pemahaman akan nilai-nilai agama, dan komitmen yang kuat dalam mengamalkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya sehari-hari, khusunya dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling kepada klien atau pesertadidik. Agar layanan bantuan yang diberikan itu bernilai ibadah, maka  harus didasarkan pada keikhlasan dan kesabaran. Kaitannya dengan hal tersebut, Prayitno dan Ermen Anti mengemukakan persyaratan bagi konselor yaitu sebagai berikut :
1.      Konselor hendaklah orang yang beragama dan mengamalkan dengan baik, keimanan dan ketakwaannya sesuai dengan yang dianutnya
2.      Konselor sedapat – dapatnya mampu mentransfer kaidah - kaidah agama secara garis besar yang relevan dengan masalah klien.
3.      Konselor harus benar-benar memperhatikan dan menghormati agama klien.
Kemudian disebutkan pula oleh Erhamwilda dalam bukunya Konseling Islami, 2009:115 bahwa konselor itu:
1.      Seorang yang sudah mendalami dan mendapatkan keahlian khusus dalam bidang bimbingan konseling dan atau pendidikan profesi konselor.
2.      Seorang yang punya pemahaman ajaran agama yang cukup memadai, dan hidupnya sendiri ditandai dengan ketundukan akan ajaran yang dianutnya.
3.      Seorang yang cara hidupnya layak diteladani, karena konselor harus sekaligus berfungsi sebagai model.
4.      Seorang yang punya keinginan kuat dan ikhlas untuk membantu orang lain agar biisa berperilaku sesuai petunjuk Al-quran dan Hadist (bagi muslim).
5.      Seorang yang yakin bahwa apa yang dia lakukan untuk kliennya adalah sebatas usaha, sedangkan hasilnya akan ditentukan oleh individu itu sendiri serta petunjuk/hdayah dari Tuhan YME.
6.      Seorang yang tidak mudah berputus asa dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
7.      Seorang yang berusaha terus-menerus memperkuat iman, ketaqwaannya, dan berusaha menjadi ihsan yang menyucikan hatinya dari sombong, iri, dengki, kikir, riya, bohong serta menjauhkan diri dari berbagai perilaku syirik, walau sekecil apapun.
8.      Seorang yang berusaha terus-menerus menambah ilmu agamanya
BAB III
PENUTUP
A.           KESIMPULAN
Dari pemaparan makalah di atas dapat disimpulkan bahwa layanan bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dari pendidikan. Landasan agama dalam bimbingan dan koseling merupakan dasar pijakan yang paling penting yang harus dipahami secara menyeluruh dan komprehensif bagi seorang konselor. Karena konselor tidak hanya sekedar menuangkan pengetahuan ke otak saja atau pengarahan kecakapannya saja tetapi agama penting untuk menumbuh kembangkan moral, tingkah laku, serta sikap siswa yang sesuai dengan ajaran agamanya. Oleh karena itu disinilah posisi keagamaan menjadi semakin penting untuk mengatasi kegelisahan-kegelisahan jiwa yang dialami setiap manusia.
Landasan agama harus diupayakan seoptimal mungkin dalam pelaksanaan bimbingan konseling di sekolah. Konselor haruslah senantiasa berpijak pada landasan agama dan memberikan siraman rohani pada siswa-siswanya agar siswa tersebut memperoleh pengetahuan yang cukup sehingga menjadi suatu bekal serta menjadikan jiwa-jiwa yang kuat ketika menghadapi permasalahan kelak.

B.            SARAN
Kami menyadari sepenuhnya bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran akan kami terima dengan tangan terbuka demi penulisan makalah selanjutnya yang lebih baik.





DAFTAR PUSTAKA
Erhamwilda. (2009). Konseling Islami. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Iis Rohmawati. Bimbingan dan Konseling (http://iisrohmawati22.blogspot.com/) diposting pada 17 november 2012.
Mu’awanah, Elfi & Hidayah, Rifa. (2009). Jakarta: PT Bumi Aksara.