BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Manusia adalah
makhluk individual dan sosial sekaligus makhluk yang berketuhanan. Sepanjang
manusia hidup, manusia tidak pernah lepas dari masalah. Namun, ada individu
yang mampu menghadapi masalahnya dengan bijaksana dan sebaliknya ada juga
individu yang menghadapi masalahnya dengan gejolak emosi yang tidak terkendali.
Kekuatan nafsu yang mendorong sikap dan perilaku seringkali membuat individu
yang bermasalah semakin bermasalah, sebaliknya jiwa yang tenang dan mendapat petunjuk
dari Allah akan menghadapi masalahnya dengan tenang, sehinga tidak sampai
menjerumuskan dirinya pada masalah yang lebih pelik.
Tidak jarang
pula terjadi manusia yang mengalami satu masalah dan tidak mampu mengatasi
masalahnya, sehingga akan membuatnya mengalami masalah-masalah berikutnya.
Masalah berikutnya tersebut seringkali bertambah kompleks dan bertambah sulit
penyelesaiannya. Untuk itu, seorang manusia kadang membutuhkan bantuan orang
lain untuk memecahkan masalahnya. Dalam hal ini, konseling menjadi alternatif
penting dalam membantu individu memecahkan masalahnya. Namun seperti telah
disebut di atas, manusia adalah makhluk yang berketuhanan. Sehingga dalam
layanan bimbingan dan konseling pun harus berlandaskan asas ketuhanan atau
landasan religius. Yang mana seorang konselor bukan hanya memandang kliennya
sebagai makhluk Tuhan, tetapi juga harus memiliki pemahaman tentang nilai-nilai
keagamaan dan juga komitmen yang kuat untuk mengamalkannya dalam kehidupan
pribadi, masyarakat, dan juga dalam layanan bimbingan dan konseling. Untuk
itulah, menambah wawasan mengenai landasan dan identitas religius dan
implementasinya bagi pengembangan pribadi konselor tentu akan membantu kita
dalam menambah kualitas kepribadian diri sebagai calon konselor, juga sebagai
titik loncatan dalam pencapaian konseling yang efektif.
B.
RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah
dalam makalah ini sebagai berikut.
1.
Apa
yang dimaksud dengan landasan religius bagi konselor?
2.
Bagaimana
karakteristik seorang konselor yang berpegang teguh pada agama?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Landasan Religius
Agama (Religion) berasal dari kata Latin “religio”,
berarti “tie-up”. Dalam bahasa Inggris, Religion dapat diartikan “having
engaged ‘God’ atau ‘The Sacred Power’. Secara umum di Indonesia, Agama dipahami
sebagai sistem kepercayaan, tingkah laku, nilai, pengalaman dan yang terinstitusionalisasi,
diorientasikan kepada masalah spiritual/ritual yang diterapkan dalam sebuah
komunitas dan diwariskan antar generasi dalam tradisi.
Ditegaskan pula oleh Moh. Surya (2006) bahwa salah satu tren bimbingan dan
konseling saat ini adalah bimbingan dan konseling spiritual. Berangkat dari
kehidupan modern dengan kehebatan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemajuan
ekonomi yang dialami bangsa-bangsa Barat yang ternyata telah menimbulkan
berbagai suasana kehidupan yang tidak memberikan kebahagiaan batiniah dan
berkembangnya rasa kehampaan. Dewasa ini sedang berkembang kecenderungan untuk
menata kehidupan yang berlandaskan nilai-nilai spiritual. Kondisi ini telah
mendorong kecenderungan berkembangnya bimbingan dan konseling yang berlandaskan
spiritual atau religi.
Pemahaman agama di sekolah sangat
penting untuk pembinaan dan penyempurnaan pertumbuhan kepribadian anak didik,
karena pendidikan agama mempunyai dua aspek penting yaitu :
1.
Aspek pertama dari pendidikan agama,
adalah ditujukan kepada jiwa atau pembentukan kepribadian.
2.
Aspek kedua dari pendidikan agama,
adalah ditujukan kepada pikiran atau pengajaran agama itu sendiri.
Ada beberapa
peran agama dalam kesehatan mental, antara lain :
1.
Dengan agama dapat memberikan
bimbingan dalam hidup
2.
Aturan agama dapat menentramkan
batin.
3.
Ajaran agama sebagai penolong dalam
kebahagiaan hidup
4.
Ajaran agama sebagai pengendali mora
5.
Agama dapat menjadi terapi jiw
6.
Agama sebagai pembinaan mental
Landasan religius bimbingan dan
konseling pada dasarnya ingin menetapkan klien/siswa sebagai makhluk Tuhan
dengan segenap kemuliaannya menjadi fokus sentral upaya bimbingan dan konseling
(Prayitno dan Erman Amti, 2003: 233).
Pendekatan bimbingan dan konseling
yang terintegrasi didalamnya dimensi agama, ternyata sangat disenangi oleh
masyarakar Amerika dewasa ini. Kondisi ini didasarkan kepada hasil polling
Gallup pada tahun 1992 yang menunjukkan:
1.
Sebanyak 66% masyarakat menyenangi
konselor yang profesional, yang memiliki nilai-nilai keyakinan dan spiritual.
2.
Sebanyak 81%
masyarakat menyenangi proses konseling yang memperhatikan nilai-nilai keyakinan
(agama).
B.
Hakikat Manusia menurut Agama
Menurut
sifat hakiki manusia adalah makhluk beragama (homo religius), yaitu makhluk
yang mempunyai fitrah untuk bisa memahami dan menerima nilai-nilai kebenaran
yang bersumber dari agama, juga sekaligus menjadikan kebenaran agama itu
sebagai rujukan (referensi) sikap dan perilakunya.
Fitrah
beragama ini merupakan potensi yang arah perkembangannya amat tergantung pada
kehidupan beragama lingkungan di mana seorang (anak) itu hidup, terutama
dilingkungan keluarga. Dalil yang menunjukkan manusia mempunyai fitrah Qs.
Al-Araf 172.
Seperti
halnya fitrah beragama, maka hawa nafsu
pun merupakan potensi yang melekat pada
setiap diri individu. Keberadaan hawa nafsu itu di samping memberikan
manfaat juga dapat melahirkan madharat (ketidaknyamanan dalam kehidupan, baik
personal maupun sosial). Individu dapat mengendalikan hawa nafsunya ( bukan
membunuh ) dengan cara mengembangkan takwanya.
Dengan
membaca ayat-ayat Al-qur’an yang menjelaskan tentang penciptaan manusia, dapat
diperoleh gambaran tentang potensi-potensi yang diberikan kepada manusia untuk
mengarungi kehidupan.
Pandangan
Achmad Mubarok (2000:135 dalam Erhamwilda, 2009): “Surat Al-sajdah (32):7-9
secara jelas mengisyaratkan potensi manusia berupa hubungan jasad dengan
bekerjanya fungsi-fungsi nafs. Roh kehidupan manusia baru ada ketika
organ-organ kelengkapan jasadnya telah sempurna, dan fungsi-fungsi pendengaran,
penglihatan, dan hati baru bekerja berangsur-angsur setelah organ-organ
jasadnya berfungsi secara sempurna. Sistem jasad dan nafs manusia mempunyai
unsur-unsur yang sangat komlekssehingga perubahan-perubahan stimulus dan
perbedaan-perbedaan motivasi akan memengaruhi kapasitas dan kualitas kejiwaan
manusia”.
Dari
penjelasan tersebut tampak bahwa manusia oleh sang pencipta diberikan potensi
jasad dan roh yang membuat berfungsinya nafs, dan manusia juga diberikan
pendengaran, penglihatan dan hati yang akan mewujudkan fungsi nafs.
Ketiga
potensi tersebut merupakan potensi dasar yang diberikan kepada manusia agar
manusia bisa mengenal dunia dan penciptanya sert seharusnya manusia tunduk
kepada penciptanya. Manusia juga diingatkan agar selalu bersyukur atas
dianugerahkannya ketiga potensi tersebut, karena tanpa ketiga potensi tersebut,
manusia tidak tahu apa-apa.addapun cara mensyukuri ketiga potensi itu adalah
antara lain dengan menggunakannya untuk mendengar, melihat dan menghayati
kebesaran Tuhan Yang Maha Esa.
Selain itu,
manusia juga mempunyai dua potensi yaitu ketakwaan dan kejahatan. Dalil yang
menunjukkan dua potensi tersebut : Qs. Asysyamsu : 8-10
Dengan
mengamalkan ajaran agama berarti manusia telah mewujudkan jati dirinya,
identitas dirinya yang hakiki sebagai Abdullah ( Hamba Allah ) dan khalifah. Sebagai
khalifah berarti manusia menurut fitrahnya adalah makhluk sosial yang bersifat
altruis (sikap sosial untuk membantu orang lain ) sebagai hamba dan khalifah
Allah, manusia mempunyai tugas suci yaitu ibadah atau mengabdi kepada-Nya.
C.
Peranan
Agama
Agama
sebagai pedoman hidup bagi manusia telah memberikan petunjuk (hudan) tentang
berbagai aspek kehidupan, termasuk pembinaan atau pengembangan mental (rohani)
yang sehat sebagai petunjuk hidup.
Agama berfungsi sebagai berikut :
1.
Memelihara Fitrah
Manusia dilahirkan dalam keadaan
fitrah (suci) namun manusia mempunyai hawanafsu. Agar manusia dapat
mengendalikan hawanafsunya maka manusia harus beragama atau bertakwa kepada
Allah.
2.
Memelihara Jiwa
Dalam
memelihara kemuliaan jiwa manusia, agama mengharamkan atau melarang manusia
melakukan penganiayaan, penyiksaan, baik terhadap dirinya sendirimaupun orang
lain.
3.
Memelihara Akal
Dengan akalnya, manusia memiliki;
(a) kemampuan untuk membedakan yang baik dan buruk, atau memahami dan menerima
nilai-nilai agama, dan (b mengembangkan ilmu dan teknologi atau mengem bangkan
kebudayaan.
4.
Memelihara Keturunan
Agama mengajarkan kepada manusia
tentang cara memelihara keturunan atau sistem regenerasi yang suci ; aturan
atau norma itu adalah pernikahan agama, pernikahan bertujuan untuk mewujudkan
keluarga sakinah, mawaddah dan warrohmah.
Pendidikan
agama harus dimulai dari rumah tangga, sejak si anak masih kecil. Pendidikan
tidak hanya berarti memberi pelajaran agama kepada anak-anak yang belum lagi
mengerti dan dapat menangkap pengertian-pengertian yang abstrak.
Akan
tetapi yang terpokok adalah penanaman jiwa percaya kepada Tuhan, membiasakan
mematuhi dan menjaga nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang ditentukan oleh ajaran
agama.
Menurut
pendapat para ahli jiwa, bahwa yang mengendalikan kelakuan dan tindakan
seseorang adalah kepribadiannya. Kepribadian tumbuh dan terbentuk dari pengalaman-pengalaman
yang dilaluinya sejak lahir. Bahkan mulai dari dalam kandungan ibunya sudah ada
pengaruh terhadap kelakuan si anak dan terhadap kesehatan mentalnya pada
umumnya. Dengan memberikan pengalaman-pengalaman yang baik, nilai-nilai moral yang
tinggi, serta kebiasaan-kebiasaan yang sesuai dengan ajaran agama sejak lahir,
maka semua pengalaman itu akan menjadi bahan dalam pembinaan kepribadian.
Dengan
demikian, pendidikan Agama Islam berperan membentuk manusia Indonesia yang
percaya dan takwa kepada Allah SWT, menghayati dan mengamalkan ajaran agamanya
dalam kehidupan sehari-sehari, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam
kehidupan bermasyarakat, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan
mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air, agar dapat menumbuhkan
manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta
bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.
Menurut ZakiahDaradjat(1988) salah satu peranan agama adalah
sebagai terapi (penyebutan) bagi gangguan kejiwaan. Sedangkan menurut Surya (1977) mengemukakan bahwa agama memegang peranan sebagai penentu dalam
proses penyesuaian diri (diposkan oleh Iis Rohmawati dalam blognya: Bimbingan
dan Konseling pada 17 november 2012 di http://iisrohmawati22.blogspot.com/).
Agama
merupakan sumber nilai, kepercayaan dan pola-pola tingkahlaku yang akan
memberikan tuntunan bagi arti, tujuan dan kestabilan hidup umat manusia.
Pemberian
layanan bimbingan semakin diyakini kepentingannya bagi anak atau siswa,
mengingat dinamika kehidupan, masyarakat dewasa ini cenderung lebih kompleks,
terjadi perbenturan antara berbagai kepentingan yang bersifat kompetitif, baik
menyangkut aspek politik, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, maupun
aspek-aspek yang lebih khusus tentang perbenturan ideologi, antara yang hak dan
batil.
Dinamika
kehidupan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi turut memberikan andil
besar dalam dekadensi moral atau pelecehan nilai-nilai agama, baik dikalangan
orang dewasa, remaja maupun anak-anak. Mengapa dekadensi moral khususnya
dikalangan remaja, itu semakin marak? Dalam halini ZakiahDarajat (1973:12) mengemukakan bahwa masalah itu
sebabkan untuk beberapa faktor, seperti: kurang tertanamnya jiwa agama pada
tiap-tiap orang dalam masyarakat, keadaan masyarakat yang kuranng stabil baik segiekonomi, social,
maupun politik. Pendidikan moral tidak terlaksana menurut mestinya, baik di lingkungan
keluarga, sekolah maupun masyarakat; dijualnya dengan bebas alat-alat
kontrasepsi dan iklim keluarga yang tidak harmonis.
Berikut
adalah salah satu pendapat Ahli Indonesia tentang pengaruh agama terhadap
kesehatan mental.
1.
DadangHawariIdries (psikiater)
mengemuk akan bahwa dari sejumlah penelitian para ahli bisa disimpulkan (a)
komitmen agama dapat mencegah dan melindungi seseorang dari penyakit-penyakit
dan mempercepat pemulihan penyakit . (b) Agama lebih bersifat protektif dan
pada problem-problem producing, (3) komitmen agama mempunyai hubungan
tignifikan dan positif dengan dinital berefit
2. ZakiahDarajat( 1982;58) mengemukakan
bahwa apabila manusia ingin terhindar dari kegelisahan, kecemasan, dan
ketegangan jiwa serta ingin hidup tenang, tentram dan dapat membahagiakan orang
lain, maka hendaklah manusia percaya kepada
Allah dan hidup mengamal kanajaran agama. Agama bukanlah dogma tetapi
agama adalah kebutuhan jiwa yang perludipenuhi.
Berdasarkan
pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa agama mempunyai pengaruh yang sangat
besar terhadap kesehatan mental individu. Kata-kata penyakit bukan hanya
diistilahkan penyakit secara fisik, tapi juga penyakit-penyakit hati manusia,
antara lain sebagai berikut.
1.
Al-Isyaraa kubillah ; menyukutukan
Allah atau meyakini adanya Tuhan - tuhan lain selain Alla
2. Riya ;
bersikap pamer, keinginan untuk dipujioleh orang lain dalam melakukan suatu
amal bukan untuk mencari ridha Allah
3. Al-kufru
Riallaah ; menolak perintah dan larangan Allah
4. Annifaaq ;
sikap ragu dalam beriman kepada Allah, atau krakteristik seseorang yang suka
berbohong atau berdusta
5. Al-hasad
;sikapdengki, dendam kesumat atau irihati terhadap kenikmatan yang diperoleh
orang lain dan berkeinginan untuk melenyapkan atau mencelakakannya.
6. Al-Ifsaad ;
sikap dan prilaku destruktif , trouble maken, menganggu kenyamanan hidup orang
lain atau merusak lingkungan hidup.
7. Takabur ;
sikapsombong, arogan, suka membangga-banggakan diri dan cenderung suka menghina
orang lain
8. Bathil ; kikir, tidak mau
menafkahkan harta kekayaannya dijalan Allah
9. Hubbuddunya
; sangat mencintai dunia dan melupakan akhirat
10. Hubbusy
syahawaat: mempertuhankan hawa nafsu,
mengikuti dorongan hawa nafsu
11. Al-hazan ;
selalu merasa cemas, sedih, stress atau mudah frustas
12. Al-kasal ;
sikap malas atau keengganan untuk melakukan kebaika
13. Su’udhan ;
berburuk sangka kepada orang lain
Apabila
seseorang memiliki penyakit-penyakit hati diatas berarti diatelah mengidap
penyakit rohaniah yang mencampakkan nilai-nilai kemanusiaanya sehingga dia
termasuk golongan manusia yang “khusrin” atau “aspalasaafilin” ( kedudukan yang
sangat hina disisi Allah ).
Uraian
diatas menerangkan tentang pentingnya peranan agama dalam kesehatan moral, maka
memberikan pelayanan bimbingan yang terintegrasi didalamnya, dari para konselor
atau pembimbing
D.
Perbedaan
Agama Konselor-Klien
Sebagaimana
telah kita tahu bahwa tugas seorang pembimbing atau konselor di antaranya
adalah membantu tingkah laku klien atau si terbimbing menuju kkondisi yang adequate. Untuk itu, diperlukan metode pengubahan
tingkah laku atau pendekatan dalam bimbingan dan konseling. Menggunakan ajaran
agama sebagai dasar pengubahan tingkah laku sebagai konseling alternatif
merupakan hal yang dapat dilakukan oleh petugas bimbingan. Sebagai
rasionalisasi adalah seperti yang diungkapkan oleh worthington, 1988 (Dalam
Bimbingan Konseling Islami 2009 oleh Elfi Mu’awanah dan Rifa Hidayah) bahwa
dewasa ini di dunia barat minat mengkaji agama yang dibangkitkan oleh para ahli
di lapangan konseling. Ia berpendapat bahwa perbedaan nilai yang serius harus
pantang mundur dan dihadapi melalui diskusi secara terbuka, dan jika perlu
mereferal kepada konselor yang lain. Sementara Beutler, Pollack, dan Joe
mengatakan bahwa dalam mengkonseling klien yang membawa nilai tertentu tidak berarti
bahwa seorang konselor harus mengubah nilai-nilai yang ia miliki sendiri,
alih-alih untuk dapat bekerja sama secara efektif dengan kliennya. Akan tetapi,
konselor berfungsi memantulkan pada pandangan nilai-nilai agama klien. Hal yang
demikian hendaknya dilakukan oleh konselor Indonesia. Mengingat sikap konselor
kepada nilai-nilai agama klien mempunyai dampak yang sangat besar terhadap
perkembangan perasan klien.
Upaya
penelitian bidang agama dalam hubungannya dengan konseling, juga dilakukan oleh
Bergin (1984), misalnyadi dalam penelitiannya ia menemukan 46% responden dari
ahli kesehatan mental yang ia survey, mereka menyetujui bahwa seluruh
pendekatan kehidupan mereka didasarkan pada agamanya.
Demikian
halnya dengan Bishop (1992), menurutnya perbedaan nilai keagamaan yang
dimilliki antara konselor dan klien ternyata dapat meningkatkan keefektifan
konseling. Sebaliknya, meskipun ada persamaan nilai agama antara konselor dan
klien belum menjadi jaminan keberhasilan konseling. Perbedaan nilai agama antara
konselor dan klien dapat meningkatkkan efektivitas konseling, jika terapis
mengasosiasikan keyakinannya kepada kliennya, dan kliennya memusatkan
kepercayaannya kepada terapisnya, dan konselor-klien memendang nilai agama dari
perspektif lintas budaya. Penerimaan terhadap sikap dan nilai—nilai klien ini
bag konselor selanjutnya akan mempermudah perbaikan dan penyediaan/pemberian
perlakuan dan intervensi yang konsisten pada kepercayaan klien yang dapat
menambah hasil perlakuannya.
Adanya
perbedaan nilai anara konselor dan klien, merupakan tanggung jawab konselor
untuk mengarahkan nilai yang dipegang oleh klien yang ia bantu dan menempatkan
nilai-nilai klien yang berbeda dalam konteks lintas-budaya. Konselor secara
terbuka mungkin dapat memberikan ppenjelasan terhadap nilai-nilai agama klien
sebagai bagian yang biasa dilakukan dalam konseling. Misalnya, mengenai tempat
konseling, tanggung jawab penerimaan, kepercayaan kepada Tuhan, dan dalam hal
dosa, selalu harus dieksplorasi berkaitan dengan tanggung jawab konseling. Isu
ini bisa dihubungkan dengan nilai-nilai agama yang senantiasa memainkan peran
dalam masalah yang diajukan oleh klien. Konselor harus hati-hati dalam
mengeksplorasi nilai-nilai agama kliennya, dalam menerima dan memahami
masalah-masalah kliennya untuk meningkatkan hasil tarapeutik yang positif.
Keterbukaan
konselor-klien dapat mengurangi kemungkinan akan terjadinya konflik nilai
yang berat dan membawa kecocokan bagi
keduanya dan menghilangkan konflik. Bishop memberikan petunjuk kepada konselor
agar konselor dapat bekerja sama dengan kliennya walaupun terdapat perbedaan
nilai dan latar kebudayaan.
Peneliti
selanjutnya adalah peneliti yang menemukan pentignya spiritua dalam proses
terapi dan konseling, pentingnya nilai agama dijadikan pijakan dalam proses
konseling dan psikoterapi bahkan rohaniawan kristen (konseling pastoral) yang
menjadi seorang konselor lebih dicari oleh klien daripada konselor umum. Ketiga
garis besar penelitian ini diungkap oleh peneliti, baik dalam disertai mereka
maupun dalam jurnal-jurnal penelitian.
E.
Persyaratan
Konselor
Landasan
religious dalam bimbingan dan konseling, mengimplikasikan bahwa konselor
sebagai “helper” pemberi bantuan dituntut untuk memiliki pemahaman akan
nilai-nilai agama, dan komitmen yang kuat dalam mengamalkan nilai-nilai
tersebut dalam kehidupannya sehari-hari, khusunya dalam memberikan layanan
bimbingan dan konseling kepada klien atau pesertadidik. Agar layanan bantuan
yang diberikan itu bernilai ibadah, maka
harus didasarkan pada keikhlasan dan kesabaran. Kaitannya dengan hal
tersebut, Prayitno dan Ermen Anti mengemukakan persyaratan bagi konselor yaitu
sebagai berikut :
1. Konselor
hendaklah orang yang beragama dan mengamalkan dengan baik, keimanan dan
ketakwaannya sesuai dengan yang dianutnya
2. Konselor sedapat
– dapatnya mampu mentransfer kaidah - kaidah agama secara garis besar yang
relevan dengan masalah klien.
3. Konselor
harus benar-benar memperhatikan dan menghormati agama klien.
Kemudian
disebutkan pula oleh Erhamwilda dalam bukunya Konseling Islami, 2009:115 bahwa
konselor itu:
1. Seorang
yang sudah mendalami dan mendapatkan keahlian khusus dalam bidang bimbingan
konseling dan atau pendidikan profesi konselor.
2. Seorang
yang punya pemahaman ajaran agama yang cukup memadai, dan hidupnya sendiri
ditandai dengan ketundukan akan ajaran yang dianutnya.
3. Seorang
yang cara hidupnya layak diteladani, karena konselor harus sekaligus berfungsi
sebagai model.
4. Seorang
yang punya keinginan kuat dan ikhlas untuk membantu orang lain agar biisa
berperilaku sesuai petunjuk Al-quran dan Hadist (bagi muslim).
5. Seorang
yang yakin bahwa apa yang dia lakukan untuk kliennya adalah sebatas usaha,
sedangkan hasilnya akan ditentukan oleh individu itu sendiri serta
petunjuk/hdayah dari Tuhan YME.
6. Seorang
yang tidak mudah berputus asa dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
7. Seorang
yang berusaha terus-menerus memperkuat iman, ketaqwaannya, dan berusaha menjadi
ihsan yang menyucikan hatinya dari sombong, iri, dengki, kikir, riya, bohong
serta menjauhkan diri dari berbagai perilaku syirik, walau sekecil apapun.
8. Seorang
yang berusaha terus-menerus menambah ilmu agamanya
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari pemaparan makalah di atas dapat
disimpulkan bahwa layanan bimbingan dan konseling merupakan bagian integral
dari pendidikan. Landasan agama dalam bimbingan dan koseling merupakan dasar
pijakan yang paling penting yang harus dipahami secara menyeluruh dan
komprehensif bagi seorang konselor. Karena konselor tidak hanya sekedar
menuangkan pengetahuan ke otak saja atau pengarahan kecakapannya saja tetapi
agama penting untuk menumbuh kembangkan moral, tingkah laku, serta sikap siswa
yang sesuai dengan ajaran agamanya. Oleh karena itu disinilah posisi keagamaan
menjadi semakin penting untuk mengatasi kegelisahan-kegelisahan jiwa yang
dialami setiap manusia.
Landasan agama harus diupayakan
seoptimal mungkin dalam pelaksanaan bimbingan konseling di sekolah. Konselor
haruslah senantiasa berpijak pada landasan agama dan memberikan siraman rohani
pada siswa-siswanya agar siswa tersebut memperoleh pengetahuan yang cukup
sehingga menjadi suatu bekal serta menjadikan jiwa-jiwa yang kuat ketika
menghadapi permasalahan kelak.
B.
SARAN
Kami
menyadari sepenuhnya bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, kritik dan saran akan kami terima dengan tangan terbuka demi
penulisan makalah selanjutnya yang lebih baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Erhamwilda. (2009).
Konseling Islami. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Iis Rohmawati.
Bimbingan dan Konseling (http://iisrohmawati22.blogspot.com/) diposting pada 17 november 2012.
Mu’awanah, Elfi
& Hidayah, Rifa. (2009). Jakarta: PT Bumi Aksara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar