Selasa, 07 Juni 2016

Landasan dan Identitas Religius Konselor




 BAB I
PENDAHULUAN
A.      LATAR BELAKANG
Manusia adalah makhluk individual dan sosial sekaligus makhluk yang berketuhanan. Sepanjang manusia hidup, manusia tidak pernah lepas dari masalah. Namun, ada individu yang mampu menghadapi masalahnya dengan bijaksana dan sebaliknya ada juga individu yang menghadapi masalahnya dengan gejolak emosi yang tidak terkendali. Kekuatan nafsu yang mendorong sikap dan perilaku seringkali membuat individu yang bermasalah semakin bermasalah, sebaliknya jiwa yang tenang dan mendapat petunjuk dari Allah akan menghadapi masalahnya dengan tenang, sehinga tidak sampai menjerumuskan dirinya pada masalah yang lebih pelik.
Tidak jarang pula terjadi manusia yang mengalami satu masalah dan tidak mampu mengatasi masalahnya, sehingga akan membuatnya mengalami masalah-masalah berikutnya. Masalah berikutnya tersebut seringkali bertambah kompleks dan bertambah sulit penyelesaiannya. Untuk itu, seorang manusia kadang membutuhkan bantuan orang lain untuk memecahkan masalahnya. Dalam hal ini, konseling menjadi alternatif penting dalam membantu individu memecahkan masalahnya. Namun seperti telah disebut di atas, manusia adalah makhluk yang berketuhanan. Sehingga dalam layanan bimbingan dan konseling pun harus berlandaskan asas ketuhanan atau landasan religius. Yang mana seorang konselor bukan hanya memandang kliennya sebagai makhluk Tuhan, tetapi juga harus memiliki pemahaman tentang nilai-nilai keagamaan dan juga komitmen yang kuat untuk mengamalkannya dalam kehidupan pribadi, masyarakat, dan juga dalam layanan bimbingan dan konseling. Untuk itulah, menambah wawasan mengenai landasan dan identitas religius dan implementasinya bagi pengembangan pribadi konselor tentu akan membantu kita dalam menambah kualitas kepribadian diri sebagai calon konselor, juga sebagai titik loncatan dalam pencapaian konseling yang efektif.

B.            RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini sebagai berikut.
1.      Apa yang dimaksud dengan landasan religius bagi konselor?
2.      Bagaimana karakteristik seorang konselor yang berpegang teguh pada agama?

























                                                    


BAB II
PEMBAHASAN
A.           Landasan Religius
Agama (Religion) berasal dari kata Latin “religio”, berarti “tie-up”. Dalam bahasa Inggris, Religion dapat diartikan “having engaged ‘God’ atau ‘The Sacred Power’. Secara umum di Indonesia, Agama dipahami sebagai sistem kepercayaan, tingkah laku, nilai, pengalaman dan yang terinstitusionalisasi, diorientasikan kepada masalah spiritual/ritual yang diterapkan dalam sebuah komunitas dan diwariskan antar generasi dalam tradisi.
            Ditegaskan pula oleh Moh. Surya (2006) bahwa salah satu tren bimbingan dan konseling saat ini adalah bimbingan dan konseling spiritual. Berangkat dari kehidupan modern dengan kehebatan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemajuan ekonomi yang dialami bangsa-bangsa Barat yang ternyata telah menimbulkan berbagai suasana kehidupan yang tidak memberikan kebahagiaan batiniah dan berkembangnya rasa kehampaan. Dewasa ini sedang berkembang kecenderungan untuk menata kehidupan yang berlandaskan nilai-nilai spiritual. Kondisi ini telah mendorong kecenderungan berkembangnya bimbingan dan konseling yang berlandaskan spiritual atau religi.
Pemahaman agama di sekolah sangat penting untuk pembinaan dan penyempurnaan pertumbuhan kepribadian anak didik, karena pendidikan agama mempunyai dua aspek penting yaitu :
1.      Aspek pertama dari pendidikan agama, adalah ditujukan kepada jiwa atau pembentukan kepribadian.
2.      Aspek kedua dari pendidikan agama, adalah ditujukan kepada pikiran atau pengajaran agama itu sendiri.





Ada beberapa peran agama dalam kesehatan mental, antara lain :
1.      Dengan agama dapat memberikan bimbingan dalam hidup
2.      Aturan agama dapat menentramkan batin.
3.      Ajaran agama sebagai penolong dalam kebahagiaan hidup
4.      Ajaran agama sebagai pengendali mora
5.      Agama dapat menjadi terapi jiw
6.      Agama sebagai pembinaan mental
Landasan religius bimbingan dan konseling pada dasarnya ingin menetapkan klien/siswa sebagai makhluk Tuhan dengan segenap kemuliaannya menjadi fokus sentral upaya bimbingan dan konseling (Prayitno dan Erman Amti, 2003: 233).
Pendekatan bimbingan dan konseling yang terintegrasi didalamnya dimensi agama, ternyata sangat disenangi oleh masyarakar Amerika dewasa ini. Kondisi ini didasarkan kepada hasil polling Gallup pada tahun 1992 yang menunjukkan:
1.      Sebanyak 66% masyarakat menyenangi konselor yang profesional, yang memiliki nilai-nilai keyakinan dan spiritual.
2.       Sebanyak 81% masyarakat menyenangi proses konseling yang memperhatikan nilai-nilai keyakinan (agama).

B.            Hakikat Manusia menurut Agama
Menurut sifat hakiki manusia adalah makhluk beragama (homo religius), yaitu makhluk yang mempunyai fitrah untuk bisa memahami dan menerima nilai-nilai kebenaran yang bersumber dari agama, juga sekaligus menjadikan kebenaran agama itu sebagai rujukan (referensi) sikap dan perilakunya.
Fitrah beragama ini merupakan potensi yang arah perkembangannya amat tergantung pada kehidupan beragama lingkungan di mana seorang (anak) itu hidup, terutama dilingkungan keluarga. Dalil yang menunjukkan manusia mempunyai fitrah Qs. Al-Araf 172.
Seperti halnya fitrah beragama, maka hawa nafsu pun merupakan potensi yang melekat pada  setiap diri individu. Keberadaan hawa nafsu itu di samping memberikan manfaat juga dapat melahirkan madharat (ketidaknyamanan dalam kehidupan, baik personal maupun sosial). Individu dapat mengendalikan hawa nafsunya ( bukan membunuh ) dengan cara mengembangkan takwanya.
Dengan membaca ayat-ayat Al-qur’an yang menjelaskan tentang penciptaan manusia, dapat diperoleh gambaran tentang potensi-potensi yang diberikan kepada manusia untuk mengarungi kehidupan.
Pandangan Achmad Mubarok (2000:135 dalam Erhamwilda, 2009): “Surat Al-sajdah (32):7-9 secara jelas mengisyaratkan potensi manusia berupa hubungan jasad dengan bekerjanya fungsi-fungsi nafs. Roh kehidupan manusia baru ada ketika organ-organ kelengkapan jasadnya telah sempurna, dan fungsi-fungsi pendengaran, penglihatan, dan hati baru bekerja berangsur-angsur setelah organ-organ jasadnya berfungsi secara sempurna. Sistem jasad dan nafs manusia mempunyai unsur-unsur yang sangat komlekssehingga perubahan-perubahan stimulus dan perbedaan-perbedaan motivasi akan memengaruhi kapasitas dan kualitas kejiwaan manusia”.
Dari penjelasan tersebut tampak bahwa manusia oleh sang pencipta diberikan potensi jasad dan roh yang membuat berfungsinya nafs, dan manusia juga diberikan pendengaran, penglihatan dan hati yang akan mewujudkan fungsi nafs.
Ketiga potensi tersebut merupakan potensi dasar yang diberikan kepada manusia agar manusia bisa mengenal dunia dan penciptanya sert seharusnya manusia tunduk kepada penciptanya. Manusia juga diingatkan agar selalu bersyukur atas dianugerahkannya ketiga potensi tersebut, karena tanpa ketiga potensi tersebut, manusia tidak tahu apa-apa.addapun cara mensyukuri ketiga potensi itu adalah antara lain dengan menggunakannya untuk mendengar, melihat dan menghayati kebesaran Tuhan Yang Maha Esa.
Selain itu, manusia juga mempunyai dua potensi yaitu ketakwaan dan kejahatan. Dalil yang menunjukkan dua potensi tersebut : Qs. Asysyamsu : 8-10
Dengan mengamalkan ajaran agama berarti manusia telah mewujudkan jati dirinya, identitas dirinya yang hakiki sebagai Abdullah ( Hamba Allah ) dan khalifah. Sebagai khalifah berarti manusia menurut fitrahnya adalah makhluk sosial yang bersifat altruis (sikap sosial untuk membantu orang lain ) sebagai hamba dan khalifah Allah, manusia mempunyai tugas suci yaitu ibadah atau mengabdi kepada-Nya.
C.           Peranan Agama
Agama sebagai pedoman hidup bagi manusia telah memberikan petunjuk (hudan) tentang berbagai aspek kehidupan, termasuk pembinaan atau pengembangan mental (rohani) yang sehat sebagai petunjuk hidup.
Agama  berfungsi sebagai berikut :
1.      Memelihara Fitrah
Manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci) namun manusia mempunyai hawanafsu. Agar manusia dapat mengendalikan hawanafsunya maka manusia harus beragama atau bertakwa kepada Allah.
2.      Memelihara Jiwa
Dalam memelihara kemuliaan jiwa manusia, agama mengharamkan atau melarang manusia melakukan penganiayaan, penyiksaan, baik terhadap dirinya sendirimaupun orang lain.
3.      Memelihara Akal
Dengan akalnya, manusia memiliki; (a) kemampuan untuk membedakan yang baik dan buruk, atau memahami dan menerima nilai-nilai agama, dan (b mengembangkan ilmu dan teknologi atau mengem bangkan kebudayaan.
4.      Memelihara Keturunan
Agama mengajarkan kepada manusia tentang cara memelihara keturunan atau sistem regenerasi yang suci ; aturan atau norma itu adalah pernikahan agama, pernikahan bertujuan untuk mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah dan warrohmah.

Pendidikan agama harus dimulai dari rumah tangga, sejak si anak masih kecil. Pendidikan tidak hanya berarti memberi pelajaran agama kepada anak-anak yang belum lagi mengerti dan dapat menangkap pengertian-pengertian yang abstrak.
Akan tetapi yang terpokok adalah penanaman jiwa percaya kepada Tuhan, membiasakan mematuhi dan menjaga nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang ditentukan oleh ajaran agama.
Menurut pendapat para ahli jiwa, bahwa yang mengendalikan kelakuan dan tindakan seseorang adalah kepribadiannya. Kepribadian tumbuh dan terbentuk dari pengalaman-pengalaman yang dilaluinya sejak lahir. Bahkan mulai dari dalam kandungan ibunya sudah ada pengaruh terhadap kelakuan si anak dan terhadap kesehatan mentalnya pada umumnya. Dengan memberikan pengalaman-pengalaman yang baik, nilai-nilai moral yang tinggi, serta kebiasaan-kebiasaan yang sesuai dengan ajaran agama sejak lahir, maka semua pengalaman itu akan menjadi bahan dalam pembinaan kepribadian.
Dengan demikian, pendidikan Agama Islam berperan membentuk manusia Indonesia yang percaya dan takwa kepada Allah SWT, menghayati dan mengamalkan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-sehari, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan bermasyarakat, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air, agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.
Menurut ZakiahDaradjat(1988) salah satu peranan agama adalah sebagai terapi (penyebutan) bagi gangguan kejiwaan. Sedangkan menurut Surya (1977) mengemukakan bahwa agama memegang peranan sebagai penentu dalam proses penyesuaian diri (diposkan oleh Iis Rohmawati dalam blognya: Bimbingan dan Konseling pada 17 november 2012 di http://iisrohmawati22.blogspot.com/).
Agama merupakan sumber nilai, kepercayaan dan pola-pola tingkahlaku yang akan memberikan tuntunan bagi arti, tujuan dan kestabilan hidup umat manusia.
Pemberian layanan bimbingan semakin diyakini kepentingannya bagi anak atau siswa, mengingat dinamika kehidupan, masyarakat dewasa ini cenderung lebih kompleks, terjadi perbenturan antara berbagai kepentingan yang bersifat kompetitif, baik menyangkut aspek politik, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, maupun aspek-aspek yang lebih khusus tentang perbenturan ideologi, antara yang hak dan batil.
Dinamika kehidupan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi turut memberikan andil besar dalam dekadensi moral atau pelecehan nilai-nilai agama, baik dikalangan orang dewasa, remaja maupun anak-anak. Mengapa dekadensi moral khususnya dikalangan remaja, itu semakin marak? Dalam halini ZakiahDarajat (1973:12) mengemukakan bahwa masalah itu sebabkan untuk beberapa faktor, seperti: kurang tertanamnya jiwa agama pada tiap-tiap orang dalam masyarakat, keadaan masyarakat  yang kuranng stabil baik segiekonomi, social, maupun politik. Pendidikan moral tidak terlaksana menurut mestinya, baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat; dijualnya dengan bebas alat-alat kontrasepsi dan iklim keluarga yang tidak harmonis.
Berikut adalah salah satu pendapat Ahli Indonesia tentang pengaruh agama terhadap kesehatan mental.
1.      DadangHawariIdries (psikiater) mengemuk akan bahwa dari sejumlah penelitian para ahli bisa disimpulkan (a) komitmen agama dapat mencegah dan melindungi seseorang dari penyakit-penyakit dan mempercepat pemulihan penyakit . (b) Agama lebih bersifat protektif dan pada problem-problem producing, (3) komitmen agama mempunyai hubungan tignifikan dan positif dengan dinital berefit
2.      ZakiahDarajat( 1982;58) mengemukakan bahwa apabila manusia ingin terhindar dari kegelisahan, kecemasan, dan ketegangan jiwa serta ingin hidup tenang, tentram dan dapat membahagiakan orang lain, maka hendaklah manusia percaya kepada  Allah dan hidup mengamal kanajaran agama. Agama bukanlah dogma tetapi agama adalah kebutuhan jiwa yang perludipenuhi.
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa agama mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kesehatan mental individu. Kata-kata penyakit bukan hanya diistilahkan penyakit secara fisik, tapi juga penyakit-penyakit hati manusia, antara lain sebagai berikut.
1.      Al-Isyaraa kubillah ; menyukutukan Allah atau meyakini adanya Tuhan - tuhan lain selain Alla
2.      Riya ; bersikap pamer, keinginan untuk dipujioleh orang lain dalam melakukan suatu amal bukan untuk mencari ridha Allah
3.      Al-kufru Riallaah ; menolak perintah dan larangan Allah
4.      Annifaaq ; sikap ragu dalam beriman kepada Allah, atau krakteristik seseorang yang suka berbohong atau berdusta
5.      Al-hasad ;sikapdengki, dendam kesumat atau irihati terhadap kenikmatan yang diperoleh orang lain dan berkeinginan untuk melenyapkan atau mencelakakannya.
6.      Al-Ifsaad ; sikap dan prilaku destruktif , trouble maken, menganggu kenyamanan hidup orang lain atau merusak lingkungan hidup.
7.      Takabur ; sikapsombong, arogan, suka membangga-banggakan diri dan cenderung suka menghina orang lain
8.       Bathil ; kikir, tidak mau menafkahkan harta kekayaannya dijalan Allah
9.      Hubbuddunya ; sangat mencintai dunia dan melupakan akhirat
10.  Hubbusy syahawaat:  mempertuhankan hawa nafsu, mengikuti dorongan hawa nafsu
11.  Al-hazan ; selalu merasa cemas, sedih, stress atau mudah frustas
12.  Al-kasal ; sikap malas atau keengganan untuk melakukan kebaika
13.  Su’udhan ; berburuk sangka kepada orang lain
Apabila seseorang memiliki penyakit-penyakit hati diatas berarti diatelah mengidap penyakit rohaniah yang mencampakkan nilai-nilai kemanusiaanya sehingga dia termasuk golongan manusia yang “khusrin” atau “aspalasaafilin” ( kedudukan yang sangat hina disisi Allah ).
Uraian diatas menerangkan tentang pentingnya peranan agama dalam kesehatan moral, maka memberikan pelayanan bimbingan yang terintegrasi didalamnya, dari para konselor atau pembimbing



D.           Perbedaan Agama Konselor-Klien
Sebagaimana telah kita tahu bahwa tugas seorang pembimbing atau konselor di antaranya adalah membantu tingkah laku klien atau si terbimbing menuju kkondisi yang adequate. Untuk itu, diperlukan metode pengubahan tingkah laku atau pendekatan dalam bimbingan dan konseling. Menggunakan ajaran agama sebagai dasar pengubahan tingkah laku sebagai konseling alternatif merupakan hal yang dapat dilakukan oleh petugas bimbingan. Sebagai rasionalisasi adalah seperti yang diungkapkan oleh worthington, 1988 (Dalam Bimbingan Konseling Islami 2009 oleh Elfi Mu’awanah dan Rifa Hidayah) bahwa dewasa ini di dunia barat minat mengkaji agama yang dibangkitkan oleh para ahli di lapangan konseling. Ia berpendapat bahwa perbedaan nilai yang serius harus pantang mundur dan dihadapi melalui diskusi secara terbuka, dan jika perlu mereferal kepada konselor yang lain. Sementara Beutler, Pollack, dan Joe mengatakan bahwa dalam mengkonseling klien yang membawa nilai tertentu tidak berarti bahwa seorang konselor harus mengubah nilai-nilai yang ia miliki sendiri, alih-alih untuk dapat bekerja sama secara efektif dengan kliennya. Akan tetapi, konselor berfungsi memantulkan pada pandangan nilai-nilai agama klien. Hal yang demikian hendaknya dilakukan oleh konselor Indonesia. Mengingat sikap konselor kepada nilai-nilai agama klien mempunyai dampak yang sangat besar terhadap perkembangan perasan klien.
Upaya penelitian bidang agama dalam hubungannya dengan konseling, juga dilakukan oleh Bergin (1984), misalnyadi dalam penelitiannya ia menemukan 46% responden dari ahli kesehatan mental yang ia survey, mereka menyetujui bahwa seluruh pendekatan kehidupan mereka didasarkan pada agamanya.
Demikian halnya dengan Bishop (1992), menurutnya perbedaan nilai keagamaan yang dimilliki antara konselor dan klien ternyata dapat meningkatkan keefektifan konseling. Sebaliknya, meskipun ada persamaan nilai agama antara konselor dan klien belum menjadi jaminan keberhasilan konseling. Perbedaan nilai agama antara konselor dan klien dapat meningkatkkan efektivitas konseling, jika terapis mengasosiasikan keyakinannya kepada kliennya, dan kliennya memusatkan kepercayaannya kepada terapisnya, dan konselor-klien memendang nilai agama dari perspektif lintas budaya. Penerimaan terhadap sikap dan nilai—nilai klien ini bag konselor selanjutnya akan mempermudah perbaikan dan penyediaan/pemberian perlakuan dan intervensi yang konsisten pada kepercayaan klien yang dapat menambah hasil perlakuannya.
Adanya perbedaan nilai anara konselor dan klien, merupakan tanggung jawab konselor untuk mengarahkan nilai yang dipegang oleh klien yang ia bantu dan menempatkan nilai-nilai klien yang berbeda dalam konteks lintas-budaya. Konselor secara terbuka mungkin dapat memberikan ppenjelasan terhadap nilai-nilai agama klien sebagai bagian yang biasa dilakukan dalam konseling. Misalnya, mengenai tempat konseling, tanggung jawab penerimaan, kepercayaan kepada Tuhan, dan dalam hal dosa, selalu harus dieksplorasi berkaitan dengan tanggung jawab konseling. Isu ini bisa dihubungkan dengan nilai-nilai agama yang senantiasa memainkan peran dalam masalah yang diajukan oleh klien. Konselor harus hati-hati dalam mengeksplorasi nilai-nilai agama kliennya, dalam menerima dan memahami masalah-masalah kliennya untuk meningkatkan hasil tarapeutik yang positif.
Keterbukaan konselor-klien dapat mengurangi kemungkinan akan terjadinya konflik nilai yang  berat dan membawa kecocokan bagi keduanya dan menghilangkan konflik. Bishop memberikan petunjuk kepada konselor agar konselor dapat bekerja sama dengan kliennya walaupun terdapat perbedaan nilai dan latar kebudayaan.
Peneliti selanjutnya adalah peneliti yang menemukan pentignya spiritua dalam proses terapi dan konseling, pentingnya nilai agama dijadikan pijakan dalam proses konseling dan psikoterapi bahkan rohaniawan kristen (konseling pastoral) yang menjadi seorang konselor lebih dicari oleh klien daripada konselor umum. Ketiga garis besar penelitian ini diungkap oleh peneliti, baik dalam disertai mereka maupun dalam jurnal-jurnal penelitian.

E.            Persyaratan Konselor
Landasan religious dalam bimbingan dan konseling, mengimplikasikan bahwa konselor sebagai “helper” pemberi bantuan dituntut untuk memiliki pemahaman akan nilai-nilai agama, dan komitmen yang kuat dalam mengamalkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya sehari-hari, khusunya dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling kepada klien atau pesertadidik. Agar layanan bantuan yang diberikan itu bernilai ibadah, maka  harus didasarkan pada keikhlasan dan kesabaran. Kaitannya dengan hal tersebut, Prayitno dan Ermen Anti mengemukakan persyaratan bagi konselor yaitu sebagai berikut :
1.      Konselor hendaklah orang yang beragama dan mengamalkan dengan baik, keimanan dan ketakwaannya sesuai dengan yang dianutnya
2.      Konselor sedapat – dapatnya mampu mentransfer kaidah - kaidah agama secara garis besar yang relevan dengan masalah klien.
3.      Konselor harus benar-benar memperhatikan dan menghormati agama klien.
Kemudian disebutkan pula oleh Erhamwilda dalam bukunya Konseling Islami, 2009:115 bahwa konselor itu:
1.      Seorang yang sudah mendalami dan mendapatkan keahlian khusus dalam bidang bimbingan konseling dan atau pendidikan profesi konselor.
2.      Seorang yang punya pemahaman ajaran agama yang cukup memadai, dan hidupnya sendiri ditandai dengan ketundukan akan ajaran yang dianutnya.
3.      Seorang yang cara hidupnya layak diteladani, karena konselor harus sekaligus berfungsi sebagai model.
4.      Seorang yang punya keinginan kuat dan ikhlas untuk membantu orang lain agar biisa berperilaku sesuai petunjuk Al-quran dan Hadist (bagi muslim).
5.      Seorang yang yakin bahwa apa yang dia lakukan untuk kliennya adalah sebatas usaha, sedangkan hasilnya akan ditentukan oleh individu itu sendiri serta petunjuk/hdayah dari Tuhan YME.
6.      Seorang yang tidak mudah berputus asa dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
7.      Seorang yang berusaha terus-menerus memperkuat iman, ketaqwaannya, dan berusaha menjadi ihsan yang menyucikan hatinya dari sombong, iri, dengki, kikir, riya, bohong serta menjauhkan diri dari berbagai perilaku syirik, walau sekecil apapun.
8.      Seorang yang berusaha terus-menerus menambah ilmu agamanya
BAB III
PENUTUP
A.           KESIMPULAN
Dari pemaparan makalah di atas dapat disimpulkan bahwa layanan bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dari pendidikan. Landasan agama dalam bimbingan dan koseling merupakan dasar pijakan yang paling penting yang harus dipahami secara menyeluruh dan komprehensif bagi seorang konselor. Karena konselor tidak hanya sekedar menuangkan pengetahuan ke otak saja atau pengarahan kecakapannya saja tetapi agama penting untuk menumbuh kembangkan moral, tingkah laku, serta sikap siswa yang sesuai dengan ajaran agamanya. Oleh karena itu disinilah posisi keagamaan menjadi semakin penting untuk mengatasi kegelisahan-kegelisahan jiwa yang dialami setiap manusia.
Landasan agama harus diupayakan seoptimal mungkin dalam pelaksanaan bimbingan konseling di sekolah. Konselor haruslah senantiasa berpijak pada landasan agama dan memberikan siraman rohani pada siswa-siswanya agar siswa tersebut memperoleh pengetahuan yang cukup sehingga menjadi suatu bekal serta menjadikan jiwa-jiwa yang kuat ketika menghadapi permasalahan kelak.

B.            SARAN
Kami menyadari sepenuhnya bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran akan kami terima dengan tangan terbuka demi penulisan makalah selanjutnya yang lebih baik.





DAFTAR PUSTAKA
Erhamwilda. (2009). Konseling Islami. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Iis Rohmawati. Bimbingan dan Konseling (http://iisrohmawati22.blogspot.com/) diposting pada 17 november 2012.
Mu’awanah, Elfi & Hidayah, Rifa. (2009). Jakarta: PT Bumi Aksara.


























Tidak ada komentar:

Posting Komentar