BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Banyak pihak yang menilai bahwa
masyarakat Indonesia saat ini merupakan masyarakat berprasangka. Penilaian itu
tentu bukan tanpa dasar. Saat ini masyarakat Indonesia memiliki kecurigaan yang
akut terhadap segala sesuatu yang berbeda atau dikenal dengan istilah
heterophobia. Segala sesuatu yang baru dan berbeda dari umumnya orang akan
ditanggapi dengan penuh kecurigaan. Kehadiran anggota kelompok yang berbeda
apalagi berlawanan akan dicurigai membawa misi-misi yang mengancam.
Prasangka merupakan anggapan dan
pendapat yang kurang menyenangkan atau penilaian negatif yang tidak rasional,
yang ditujukan pada individu atau suatu kelompok tertentu (yang menjadi objek
prasangka), sebelum mengetahui, menyaksikan, menyelidiki objek-objek prasangka
tersebut.
Prasangka erat kaitannya dengan
stereotip, Stereotip adalah sebuah pandangan terhadap seseorang atau kelompok
kemudian pandangan tersebut digunakan (disematkan) pada setiap anggota kelompok
tersebut.
Stereotip bisa benar bisa juga salah.
Pandangan seseorang terhadap suatu suku, bisa saja benar digunakan untuk
menggambarkan individu dari suku tersebut. Namun juga bisa salah, karena tidak
semua orang dari suku tersebut sama.
Stereotip muncul karena individu suka
mencari kesamaan pada suatu keadaan tertentu dan tidak dapat menilai dan
mengalami sekaligus dua hal yang berbeda di tempat yang berbeda secara
bersamaan.
Dengan demikian, stereotip merupakan
cara ampuh untuk melihat keadan dengan cara yang efisien, yaitu dengan cara
mencocok-cocokkan. Stereotip sendiri sudah ada sejak zaman purbakala
dulu..Stereotipe merupakan faktor yang secara otomatis dapat membentuk
prasangka.
B. Rumusan Masalah
1 1. Bagaimana
cara menghindari prasangka dan streotip budaya?
2 2. Bagaimana
cara melakukan pendekatan etik dan emik?
3. Bagaimana
bias budaya dapat menghambat proses konseling?
C. Tujuan
1 1. Agar
seorang konselor mampu memahami dan dapat menghindari prasangka dan stereotip
budaya.
2. Agar
seorang konselor mampu melakukakan pendekatan etik dan emik pada client secara
effisien.
3. Agar
seorang konselor mampu memahami apa saja yang dapat menghambat proses
konseling.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Prasangka
dan Stereotip Budaya
a.
Definisi
Prasangka
Prasangka atau prejudice berasal dari
kata latin yaitu prejudicium, yang pengertiannya sekarang mengalami
perkembangan sebagia berikut :
a.
Semula diartikan sebagai suatu
presenden, artinya keputusan diambil atas dasar pengalaman yang lalu.
b.
Dalam bahas Inggris mengandung arti
pengambilan keputusan tanpa penelitian dan pertimbangan yagn cermat,
tergesa-gesa atau tidak matang.
c.
Untuk mengatakan prasangka
dipersyaratkan pelibatan unsur-unsur emosilan (suka atau tidak suka) dalam
keputusan yang telah diambil tersebut
Prasangka dalam kamus besar bahasa
Indonesia memiliki pengertian bahwa prasangka adalah pendapat (anggapan) yg
kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui (menyaksikan, menyelidiki)
sendiri. Dari pengertian diatas dapat kita garis bawahi dari prasangka adalah
anggapan kurang baik. Sehingga kalau kita maknai bahwa prasangka itu adalah
suatu anggapan yang kurang baik terhadap seseorang. Hal ini sering terjadi
dalam sosialisasi dalam masyarakat.
a.
Faktor
Penyebab Munculnya Prasangka
Prasangka ini dapat hadir dalam
masyarakat karena beberapa faktor yaitu:
§ Belum
saling mengenalnya antarindividu
§ Perbedaan
pandangan dan sikap
§ Perbedaan
visi dan misi
§ Perbedaan
Kultur Kebudayaan
§ Perbedaan
prinsip
Faktor-faktor itulah yang menyebabkan
seringnya seseorang berprasangka pada orang lain. Faktor pada point pertama merupakan
faktor yang paling sering memicu prasanga, Hal ini terjadi karena orang yang
belum dikenal biasanya membuat orang disekitarnya berprasangka pada apa yang
dilakukannya, karena orang tersebut tidak mengetahui watak dan sifat orang yang
belum dikenal.
Terkadang Prasangka-prasangka yang
berlebihan akan membuat suatu masyarakat terpecah menjadi kelompok.
Kelompok-kelompok ini terjadi akibat dari prasangka yang berlebihan terhadap
kelompok lainnya akibat prasangka yang menyebabkan Diskriminasi. Dalam kamus
besar bahasa Indonesia Diskriminasi dapat diartikan sebagai pembedaan sikap dan
perlakuan terhadap sesama manusia. Dalam pengertian tersebut ada 1 kata penting
yaitu pembedaan. Jika kita kaitkan dengan istilah prasangka, Diskriminasi
merupakan puncak dari Prasangka, dalam artian bahwa Prasangka yang berlebihan
akan membuat Diskriminasi.
b. Definisi
Stereotip
Stereotip
adalah sebuah pandangan terhadap seseorang atau kelompok kemudian pandangan
tersebut digunakan pada setiap anggota kelompok tersebut.
Stereotip
mendasari terbentuknya prasangka. Dasar informasi
yang diyakini benar tentang objek
yang diprasangkai, biasanya merupakan stereotip. Misalkan anda percaya bahwa
orang yang memiliki RAS cina itu pelit, dsb.
Stereotip muncul karena individu suka
mencari kesamaan pada suatu keadaan tertentu dan tidak dapat menilai dan
mengalami sekaligus dua hal yang berbeda di tempat yang berbeda secara
bersamaan. Dengan demikian, stereotip merupakan cara ampuh untuk melihat keadan
dengan cara yang efisien, yaitu dengan cara mencocok-cocokkan. Stereotip
sendiri sudah ada sejak zaman purbakala dulu.
c.
Faktor
Penyebab Munculnya Streotip
Ada
beberapa faktor yang menyebabkan munculnya stereotip, yaitu :
1. Manusia
ingin menyederhanakan dalam melihat realitas dunia yang kompleks. Keterbasan
manusia memahami sesuatu yang kompleks membuatnya mencari persamaan-persamaan
yang ada lalu memberi penilaian dengan pandangan yang sudah terbentuk dalam
pikirannya.
2. Manusia
membutuhkan cara yang efisien dan ekonomis untuk membentuk gambaran dunia
sekitarnya.
3. Manusia
membutuhkan pertahanan diri lalu menggunakan stereotip untuk menutupi
kelemahannya.
4. Manusia
tidak mungkin mendapatkan informasi yang menyeluruh terhadap keadaan-keadaan
yang ada. Dengan itu manusia membutuhkan informasi-informasi dari pihak lain
dan menyandarkan pandangannya terhadap informasi yang ia terima, lalu muncullah
stereotip.
Pada zaman sekarang ini, stereotip
sangat mudah untuk diciptakan. Perkembangan dan kekuatan media menyebarkan
informasi dan opini merupakan faktor utama mempercepat terbentuknya stereotip
di tengah masyarakat.
Sebelum ditemukannya teknologi
informasi, stereotip muncul dari informasi-informasi bersifat oral langsung
(berhadap) ataupun tulisan yang bersifat terbatas. Dalam keadaan seperti ini,
stereotip muncul secara perlahan-lahan. Karena banyak faktor-faktor yang
membuat informasi menjadi terhalanga, seperti geografis dan sumber informasi.
Namun dizaman teknologi informasi sekarang
ini, semua penghalang sudah berjatuhan. Letak geografis tidak lagi menjadi
penghambat masukkan informasi ke tengah masyarakat. Selain sumber-sumber
informasi berupa media cetak dan elektronik membanjiri kehidupan masyarakat
dengan biaya yang murah dan mudah di akses.
Untuk mengetahui sifat-sifat orang
Amerika misalnya, tidak perlu lagi harus ke sana atau mendengar langsung dari
orang Amerika. Tapi cukup dengan informasi melalui media televisi, koran,
maupun internet yang mudah di akses.
Perkembangan teknologi informasi ini,
bukan saja memudahkan berkembangnya steoritip tapi juga bisa menjadi alat untuk
menciptakan steoritip itu sendiri untuk berbagai kepentingan. Lihat saja
bagaimana televisi misalnya menyuguhkan gambaran orang Arab sebagai pelaku teroris.
Ini bukan soal kebenaran tayangan, tapi televisi sudah menjadi alat propaganda.
Demikian pula film-film, bukan hanya
bersifat hiburan tapi juga sebagai alat membentuk pikiran umum masyarakat
tentang suatu keadaan. Film Rambo misalnya, mengajak masyarakat untuk melihat
betapa hebat dan penolongnya Amerika serta menggambarkan kecurangan dan
kesewenangan tentara vietnam pada waktu itu.
Namun, selain media mampu mempercepat
munculnya stereotip, media juga ampuh untuk membendung stereotip itu sendiri.
Contoh stereotip gambaran orang Amerika yang diskriminatif terhadap kulit hitam
coba dibendung dengan menampilkan tokoh-tokoh kulit hitam di banyak film maupun
sebagai pembawa acara, seolah-olah Amerika tidak memberikan pembedaan
berdasarkan warna kulit.
Pada umumnya, stereotip bernilai
negatif, meskipun ada bersifat positif,
sangat jarang dan pada akhirnya juga dapat membawa sikap angkuh,
berlebihan, dan tidak tahu diri, karena tidak berdasarkan realitas yang ada.
Misalnya, ada muncul stereotip bahwa Yahudi adalah bangsa yang pintar.
Stereotip ini dapat meningkat identitas diri, namun ini menjadi petaka
menyebabkan kesombongan dan tidak tahu diri. Yahudi ada yang pintar dan ada
yang bodoh, sama halnya dengan bangsa-bangsa lainnya. Semua bangsa sama.
Stereotip tersebut tidak benar adanya.
d.
Nilai
Negatif Stereotip
Berikut
nilai-nilai negatif dari stereotip itu:
§ Melanggar nilai-nilai moral
kemanusiaan.
Stereotip yang
disematkan kepada suatu individu, ataupun kelompok sudah tentu mencederai
perasaan anggota masyarakat tersebut. Betapa tidak enaknya kalau setiap orang
Minang dianggap pelit, Melayu pemalas, Jawa lain di bibir lain di hati, orang
Indonesia pemalas dan jam karet.
§ Tidak fair.
Setiap individu
tidaklah sama, mereka memiliki perbedaan watak dan sifat masing-masing.
Sementara stereotip memuculkan sebuah pandangan terhadap kelompok tertentu
dengan menyamakan sifat dan watak mereka. Setiap orang itu unik dan berbeda
satu sama lainnya
§ Mengakibatkan masyarakat berpikiran
sempit.
Pandangan negatif yang
dicitrakan oleh stereotip terhadap orang Batak misalnya, menyebabkan masyarakat
berpikiran sempit terhadap suku ini. Sehingga masyarakat tidak dapat berpikir
terbuka akan sifat-sifat baik yang dimiliki suku tersebut.
e.
Cara
Mengolah Prasangka
Aspek-aspek yang perlu diperhatikan
dalam mengelola prasangka, antara lain :
§ Efek Sosialisasi
Salah
satu pemecahan untuk mengurangi prasangka adalah dengan mengubah proses
sosialisasi awal. Bila orang tidak mulai diajar untuk berprasangka, mungkin
prasangka itu nantinya tidak akan berkembang.
§ Peran Pendidikan Tinggi
Orang
yang pernah duduk di perguruan tinggi biasanya memiliki prasangka yang lebih
sedikit dibandingkan orang yang tidak pernah.
Salah satu faktor penting yang menentukan pengaruh pendidikan tinggi
adalah adanya norma kelompok teman sebaya yang baru.
§ Kontak Langsung
Ada
keyakinan bahwa kontak dapat menghilangkan stereotip, dan bahwa kedekatan dan
interaksi biasanya dapat meningkatkan rasa suka. Beberapa penelitian juga
menunjukkan bahwa peningkatan kontak dapat mengurangi antagonisme, prasangka,
dan stereotip.
B.
Perspektif Emik dan Etik
Etik mencakup pada temuan-temuan yang
tampak konsisten atau tetap di berbagai budaya, dengan kata lain sebuah etik
mengacu pada kebenaran atau prinsip yang universal. Etik merupakan penggunaan
sudut pandang orang luar yang berjarak (dalam hal ini siapa yang mengamati)
untuk menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat.
Dalam konseling lintas budaya
menggunakan perspektif objektif ini seorang konselor akan menggunakan dua
pendekatan kebudayaan yang berbeda terhadap klien. Penggunaan perbedaan
kebudayaan dilakukan untuk menunjukkan dimensi dan variabilitas kebudayaan dan
untuk menunjukkan bahwa teori-teori komunikasi antar budaya tidak dimaksudkan
untuk meneliti perbedaan budaya. Emik Etik Peneliti mempelajari perilaku manusia
dari luar kebudayaan objek konseling, konselor menguji banyak kebudayaan dan
membandingkan kebudayaan tersebut, Struktur kebudayaan ditemukan sendiri oleh
konselor, Struktur diciptakan oleh konselor, Umumnya kriteria-kriteria yang
diterapkan ke dalam karakteristik kebudayaan sangat realtif, Kriteria-kriteria
kebudayaan bersifat mutlak dan berlaku universal.
Sedangkan emik sebaliknya, mengacu pada
temuan-temuan yang tampak berbeda untuk budaya yang berbeda, dengan demikian,
sebuah emik mengacu pada kebenaran yang bersifat khas-budaya misalnya, mencoba
menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat dengan sudut pandang masyarakat itu
sendiri. Pada prinsipnya dalam konseling yang menggunakan perspektif emik maka
konselor “menjadikan dirinya” sebagai bagian dari kebudayaan klien, atau dengan
kata lain, konselor bertindak sebagai individu penuh karena dia masuk dalam
suatu struktur budaya tertentu. proses konseling Pendekatan emikpun sering
menyebabkan atau menjadikan konselor menarik kesimpulan tentang suatu budaya tertentu
berdasarkan ukuran-ukuran yang berlaku pada kebudayaan klien.
Karena implikasinya pada apa yang kita
ketahui sebagai kebenaran, emik dan etik merupakan konsep-kosep yang kuat.
Kalau kita tahu sesuatu tentang prilaku manusia dan menganggapnya sebagai
kebenaran, dan hal itu adalah suatu etik (alias universal), maka kebenaran
sebagaimana kita ketahui itu adalah juga kebenaran bagi semua orang dari budaya
apa pun.
Pendekatan emik dalam hal ini memang
menawarkan sesuatu yang lebih obyektif. Karena tingkah laku kebudayaan memang
sebaiknya dikaji dan dikategorikan menurut pandangan orang yang dikaji itu
sendiri, berupa definisi yang diberikan oleh masyarakat yang mengalami
peristiwa itu sendiri. Bahwa pengkonsepan seperti itu perlu dilakukan dan
ditemukan dengan cara menganalisis proses kognitif masyarakat yang dikaji dan
bukan dipaksakan secara etnosentrik, menurut pandangan peneliti.
Jika yang kita ketahui tentang prilaku
manusia dan yang kita anggap sebagai kebenaran itu ternyata adalah suatu emik
(alias bersifat khas-budaya), maka apa yang kita anggap kebenaran tersebut
belum tentu merupakan kebenaran bagi orang dari budaya lain.
Secara sangat sederhana dapat saya
simpulkan bahwa emik mengacu pada pandangan konselor terhadap kebudayaan klien,
sedangkan etik mengacu pada pandangan konselor terhadap kebudayaan secara
keseluruhan dalam proses konseling.
Jadi dengan konsep atau landasan teori
maka dalam melakukan proses hubungan konseling dengan klien, maka pendekatan
yang akan saya lakukan adalah memahami klien seutuhnya. Memahami klien
seutuhnya ini berarti yang harus saya lakukan adalah bisa atau dapat memahami
budaya klien secara spesifik yang mempengaruhi klien, memahami keunikan klien
dan memahami manusia secara umum atau universal yang sifatnya keseluruhan(Etik).
C.
Bias
Budaya Yang Menghambat Proses Konseling
a.
Usia
Setiap
periode usia individu memiliki tugas perkembangan dan kebutuhan-kebutuhan untuk
melaksanakan tugas perkembangan dan memenuhi berbagai kebutuhuan tersebut.
Setiap periode usia mempunyai nilai-nilai budaya usia masing-masing. Hal itu
terkadang menjadi masalah dalam pelaksanaan konseling karena adanya perbedaan
kebutuhan, kebiasaan, gaya hidup dan nilai budaya tertentu dalam setiap
rentangan usia.
Contoh:
Guru
yang menganggap murid kurang ajar karena membahas masalah onani/ masturbasi.
Pada golongan muda membahas soal sex bukan soal yang tabu lagi namun bagi
sebagian guru yang usianya berbeda jauh dengan siswa menganggap hal itu adalah
kurang ajar.
b.
Jenis
Kelamin (Gender)
Perbedaan
Jenis kelamin menjadi perbincangan sejak jaman dahulu perbedaan jenis kelamin
mempengaruhi konseling karena terkadang konselor laki-laki mempunyai stereotip
terhadap perempuan yang bersifat kurang mandiri, kurang tegas, dan kurang
berani mengambil resiko. Konselor perempuan kadang menganggap laki-laki tidak
boleh cengeng dan tegas. Namun, jika dalam proses konseling baik laki-laki atau
perempuan menampakkan sikap yang tidak sepatutnya menurut gender mereka maka
terkadang konselor menganggap aneh dan salah.
Contoh
:
Konseli
laki-laki ia kurang tegas, berbicara seperti perempuan dan sering menangis maka
konselor di suatu tempat menyuruh konseli untuk tegas dalam berbicara
selayaknya laki-laki.
c.
Ras
dan Etnis
Ras
adalah penggolongan bangsa berdasarkan ciri-ciri fisik; rumpun bangsa,
Sedangkan suku merupakan masyarakat yang tergabung dalam satu kelompok. Perbedaan
suku yang menjadi kendala dalam konseling karena masing- masing suku memiliki
kebiasaan, falsafah hidup, dan nilai budaya yang berbeda- beda. Selain itu
golongan minoritas terkadang disamaratakan oleh golongan mayoritas.
Contoh:
Konseli
yang berasal dari suku bali dan konselor yang berasal dari suku jawa
melaksanakan konseling.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Prasangka
adalah anggapan kurang baik. Sehingga kalau kita maknai bahwa prasangka itu
adalah suatu anggapan yang kurang baik terhadap seseorang. Sedangkan stereotip adalah sebuah pandangan
terhadap seseorang atau kelompok kemudian pandangan tersebut digunakan pada
setiap anggota kelompok tersebut. Hubungan strerotip dengan prasangka adalah
bahwa streotip merupakan salah satu penyebab munculnya prasangka.
Dalam
konseling lintas budaya digunakan perspektif etik dan emik, seorang konselor
akan menggunakan dua pendekatan kebudayaan yang berbeda terhadap klien.. Etik
merupakan penggunaan sudut pandang orang luar yang berjarak (dalam hal ini
siapa yang mengamati) untuk menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat.
Sedangkan, emik mengacu pada kebenaran yang bersifat khas-budaya misalnya,
mencoba menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat dengan sudut pandang
masyarakat itu sendiri.
Bias
budaya yang menghambat proses konseling disebabkan faktor-faktor, antara lain;
usia, jenis kelamin, ras dan etnik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar