Selasa, 07 Juni 2016

Prasangka dan Stereotip Budaya



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Banyak pihak yang menilai bahwa masyarakat Indonesia saat ini merupakan masyarakat berprasangka. Penilaian itu tentu bukan tanpa dasar. Saat ini masyarakat Indonesia memiliki kecurigaan yang akut terhadap segala sesuatu yang berbeda atau dikenal dengan istilah heterophobia. Segala sesuatu yang baru dan berbeda dari umumnya orang akan ditanggapi dengan penuh kecurigaan. Kehadiran anggota kelompok yang berbeda apalagi berlawanan akan dicurigai membawa misi-misi yang mengancam.
Prasangka merupakan anggapan dan pendapat yang kurang menyenangkan atau penilaian negatif yang tidak rasional, yang ditujukan pada individu atau suatu kelompok tertentu (yang menjadi objek prasangka), sebelum mengetahui, menyaksikan, menyelidiki objek-objek prasangka tersebut.
Prasangka erat kaitannya dengan stereotip, Stereotip adalah sebuah pandangan terhadap seseorang atau kelompok kemudian pandangan tersebut digunakan (disematkan) pada setiap anggota kelompok tersebut.
Stereotip bisa benar bisa juga salah. Pandangan seseorang terhadap suatu suku, bisa saja benar digunakan untuk menggambarkan individu dari suku tersebut. Namun juga bisa salah, karena tidak semua orang dari suku tersebut sama.
Stereotip muncul karena individu suka mencari kesamaan pada suatu keadaan tertentu dan tidak dapat menilai dan mengalami sekaligus dua hal yang berbeda di tempat yang berbeda secara bersamaan.
Dengan demikian, stereotip merupakan cara ampuh untuk melihat keadan dengan cara yang efisien, yaitu dengan cara mencocok-cocokkan. Stereotip sendiri sudah ada sejak zaman purbakala dulu..Stereotipe merupakan faktor yang secara otomatis dapat membentuk prasangka.

B. Rumusan Masalah
1      1.  Bagaimana cara menghindari prasangka dan streotip budaya?
2      2.   Bagaimana cara melakukan pendekatan etik dan emik?
        3.   Bagaimana bias budaya dapat menghambat proses konseling?

C. Tujuan
1     1.  Agar seorang konselor mampu memahami dan dapat menghindari prasangka dan stereotip budaya.
       2.  Agar seorang konselor mampu melakukakan pendekatan etik dan emik pada client secara effisien.
       3.  Agar seorang konselor mampu memahami apa saja yang dapat menghambat proses konseling.







BAB II
PEMBAHASAN

A.    Prasangka dan Stereotip Budaya
a.      Definisi Prasangka
Prasangka atau prejudice berasal dari kata latin yaitu prejudicium, yang pengertiannya sekarang mengalami perkembangan sebagia berikut :
a.          Semula diartikan sebagai suatu presenden, artinya keputusan diambil atas dasar pengalaman yang lalu.
b.         Dalam bahas Inggris mengandung arti pengambilan keputusan tanpa penelitian dan pertimbangan yagn cermat, tergesa-gesa atau tidak matang.
c.          Untuk mengatakan prasangka dipersyaratkan pelibatan unsur-unsur emosilan (suka atau tidak suka) dalam keputusan yang telah diambil tersebut
Prasangka dalam kamus besar bahasa Indonesia memiliki pengertian bahwa prasangka adalah pendapat (anggapan) yg kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui (menyaksikan, menyelidiki) sendiri. Dari pengertian diatas dapat kita garis bawahi dari prasangka adalah anggapan kurang baik. Sehingga kalau kita maknai bahwa prasangka itu adalah suatu anggapan yang kurang baik terhadap seseorang. Hal ini sering terjadi dalam sosialisasi dalam masyarakat.




a.      Faktor Penyebab Munculnya Prasangka
Prasangka ini dapat hadir dalam masyarakat karena beberapa faktor yaitu:
§  Belum saling mengenalnya antarindividu
§  Perbedaan pandangan dan sikap
§  Perbedaan visi dan misi
§  Perbedaan Kultur Kebudayaan
§  Perbedaan prinsip
Faktor-faktor itulah yang menyebabkan seringnya seseorang berprasangka pada orang lain. Faktor pada point pertama merupakan faktor yang paling sering memicu prasanga, Hal ini terjadi karena orang yang belum dikenal biasanya membuat orang disekitarnya berprasangka pada apa yang dilakukannya, karena orang tersebut tidak mengetahui watak dan sifat orang yang belum dikenal.
Terkadang Prasangka-prasangka yang berlebihan akan membuat suatu masyarakat terpecah menjadi kelompok. Kelompok-kelompok ini terjadi akibat dari prasangka yang berlebihan terhadap kelompok lainnya akibat prasangka yang menyebabkan Diskriminasi. Dalam kamus besar bahasa Indonesia Diskriminasi dapat diartikan sebagai pembedaan sikap dan perlakuan terhadap sesama manusia. Dalam pengertian tersebut ada 1 kata penting yaitu pembedaan. Jika kita kaitkan dengan istilah prasangka, Diskriminasi merupakan puncak dari Prasangka, dalam artian bahwa Prasangka yang berlebihan akan membuat Diskriminasi.
b.      Definisi Stereotip
Stereotip adalah sebuah pandangan terhadap seseorang atau kelompok kemudian pandangan tersebut digunakan pada setiap anggota kelompok tersebut.
Stereotip mendasari  terbentuknya  prasangka. Dasar  informasi  yang  diyakini benar tentang objek yang diprasangkai, biasanya merupakan stereotip. Misalkan anda percaya bahwa orang yang memiliki RAS cina itu pelit, dsb.
Stereotip muncul karena individu suka mencari kesamaan pada suatu keadaan tertentu dan tidak dapat menilai dan mengalami sekaligus dua hal yang berbeda di tempat yang berbeda secara bersamaan. Dengan demikian, stereotip merupakan cara ampuh untuk melihat keadan dengan cara yang efisien, yaitu dengan cara mencocok-cocokkan. Stereotip sendiri sudah ada sejak zaman purbakala dulu.
c.       Faktor Penyebab Munculnya Streotip
Ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya stereotip, yaitu :
1.      Manusia ingin menyederhanakan dalam melihat realitas dunia yang kompleks. Keterbasan manusia memahami sesuatu yang kompleks membuatnya mencari persamaan-persamaan yang ada lalu memberi penilaian dengan pandangan yang sudah terbentuk dalam pikirannya.
2.      Manusia membutuhkan cara yang efisien dan ekonomis untuk membentuk gambaran dunia sekitarnya.
3.      Manusia membutuhkan pertahanan diri lalu menggunakan stereotip untuk menutupi kelemahannya.
4.      Manusia tidak mungkin mendapatkan informasi yang menyeluruh terhadap keadaan-keadaan yang ada. Dengan itu manusia membutuhkan informasi-informasi dari pihak lain dan menyandarkan pandangannya terhadap informasi yang ia terima, lalu muncullah stereotip.

Pada zaman sekarang ini, stereotip sangat mudah untuk diciptakan. Perkembangan dan kekuatan media menyebarkan informasi dan opini merupakan faktor utama mempercepat terbentuknya stereotip di tengah masyarakat.
Sebelum ditemukannya teknologi informasi, stereotip muncul dari informasi-informasi bersifat oral langsung (berhadap) ataupun tulisan yang bersifat terbatas. Dalam keadaan seperti ini, stereotip muncul secara perlahan-lahan. Karena banyak faktor-faktor yang membuat informasi menjadi terhalanga, seperti geografis dan sumber informasi.
Namun dizaman teknologi informasi sekarang ini, semua penghalang sudah berjatuhan. Letak geografis tidak lagi menjadi penghambat masukkan informasi ke tengah masyarakat. Selain sumber-sumber informasi berupa media cetak dan elektronik membanjiri kehidupan masyarakat dengan biaya yang murah dan mudah di akses.
Untuk mengetahui sifat-sifat orang Amerika misalnya, tidak perlu lagi harus ke sana atau mendengar langsung dari orang Amerika. Tapi cukup dengan informasi melalui media televisi, koran, maupun internet yang mudah di akses.
Perkembangan teknologi informasi ini, bukan saja memudahkan berkembangnya steoritip tapi juga bisa menjadi alat untuk menciptakan steoritip itu sendiri untuk berbagai kepentingan. Lihat saja bagaimana televisi misalnya menyuguhkan gambaran orang Arab sebagai pelaku teroris. Ini bukan soal kebenaran tayangan, tapi televisi sudah menjadi alat propaganda.
Demikian pula film-film, bukan hanya bersifat hiburan tapi juga sebagai alat membentuk pikiran umum masyarakat tentang suatu keadaan. Film Rambo misalnya, mengajak masyarakat untuk melihat betapa hebat dan penolongnya Amerika serta menggambarkan kecurangan dan kesewenangan tentara vietnam pada waktu itu.
Namun, selain media mampu mempercepat munculnya stereotip, media juga ampuh untuk membendung stereotip itu sendiri. Contoh stereotip gambaran orang Amerika yang diskriminatif terhadap kulit hitam coba dibendung dengan menampilkan tokoh-tokoh kulit hitam di banyak film maupun sebagai pembawa acara, seolah-olah Amerika tidak memberikan pembedaan berdasarkan warna kulit.
Pada umumnya, stereotip bernilai negatif, meskipun ada bersifat positif,  sangat jarang dan pada akhirnya juga dapat membawa sikap angkuh, berlebihan, dan tidak tahu diri, karena tidak berdasarkan realitas yang ada. Misalnya, ada muncul stereotip bahwa Yahudi adalah bangsa yang pintar. Stereotip ini dapat meningkat identitas diri, namun ini menjadi petaka menyebabkan kesombongan dan tidak tahu diri. Yahudi ada yang pintar dan ada yang bodoh, sama halnya dengan bangsa-bangsa lainnya. Semua bangsa sama. Stereotip tersebut tidak benar adanya.
d.      Nilai Negatif Stereotip
Berikut nilai-nilai negatif dari stereotip itu:
§  Melanggar nilai-nilai moral kemanusiaan.
Stereotip yang disematkan kepada suatu individu, ataupun kelompok sudah tentu mencederai perasaan anggota masyarakat tersebut. Betapa tidak enaknya kalau setiap orang Minang dianggap pelit, Melayu pemalas, Jawa lain di bibir lain di hati, orang Indonesia pemalas dan jam karet.

§  Tidak fair.
Setiap individu tidaklah sama, mereka memiliki perbedaan watak dan sifat masing-masing. Sementara stereotip memuculkan sebuah pandangan terhadap kelompok tertentu dengan menyamakan sifat dan watak mereka. Setiap orang itu unik dan berbeda satu sama lainnya

§  Mengakibatkan masyarakat berpikiran sempit.
Pandangan negatif yang dicitrakan oleh stereotip terhadap orang Batak misalnya, menyebabkan masyarakat berpikiran sempit terhadap suku ini. Sehingga masyarakat tidak dapat berpikir terbuka akan sifat-sifat baik yang dimiliki suku tersebut.

e.    Cara Mengolah Prasangka
Aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam mengelola prasangka, antara lain :
§  Efek Sosialisasi
Salah satu pemecahan untuk mengurangi prasangka adalah dengan mengubah proses sosialisasi awal. Bila orang tidak mulai diajar untuk berprasangka, mungkin prasangka itu nantinya tidak akan berkembang.
§  Peran Pendidikan Tinggi
Orang yang pernah duduk di perguruan tinggi biasanya memiliki prasangka yang lebih sedikit dibandingkan orang yang tidak pernah.  Salah satu faktor penting yang menentukan pengaruh pendidikan tinggi adalah adanya norma kelompok teman sebaya yang baru.
§  Kontak Langsung
Ada keyakinan bahwa kontak dapat menghilangkan stereotip, dan bahwa kedekatan dan interaksi biasanya dapat meningkatkan rasa suka. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa peningkatan kontak dapat mengurangi antagonisme, prasangka, dan stereotip.

B.     Perspektif  Emik dan Etik
Etik mencakup pada temuan-temuan yang tampak konsisten atau tetap di berbagai budaya, dengan kata lain sebuah etik mengacu pada kebenaran atau prinsip yang universal. Etik merupakan penggunaan sudut pandang orang luar yang berjarak (dalam hal ini siapa yang mengamati) untuk menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat.
Dalam konseling lintas budaya menggunakan perspektif objektif ini seorang konselor akan menggunakan dua pendekatan kebudayaan yang berbeda terhadap klien. Penggunaan perbedaan kebudayaan dilakukan untuk menunjukkan dimensi dan variabilitas kebudayaan dan untuk menunjukkan bahwa teori-teori komunikasi antar budaya tidak dimaksudkan untuk meneliti perbedaan budaya. Emik Etik Peneliti mempelajari perilaku manusia dari luar kebudayaan objek konseling, konselor menguji banyak kebudayaan dan membandingkan kebudayaan tersebut, Struktur kebudayaan ditemukan sendiri oleh konselor, Struktur diciptakan oleh konselor, Umumnya kriteria-kriteria yang diterapkan ke dalam karakteristik kebudayaan sangat realtif, Kriteria-kriteria kebudayaan bersifat mutlak dan berlaku universal.
Sedangkan emik sebaliknya, mengacu pada temuan-temuan yang tampak berbeda untuk budaya yang berbeda, dengan demikian, sebuah emik mengacu pada kebenaran yang bersifat khas-budaya misalnya, mencoba menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat dengan sudut pandang masyarakat itu sendiri. Pada prinsipnya dalam konseling yang menggunakan perspektif emik maka konselor “menjadikan dirinya” sebagai bagian dari kebudayaan klien, atau dengan kata lain, konselor bertindak sebagai individu penuh karena dia masuk dalam suatu struktur budaya tertentu. proses konseling Pendekatan emikpun sering menyebabkan atau menjadikan konselor menarik kesimpulan tentang suatu budaya tertentu berdasarkan ukuran-ukuran yang berlaku pada kebudayaan klien.
Karena implikasinya pada apa yang kita ketahui sebagai kebenaran, emik dan etik merupakan konsep-kosep yang kuat. Kalau kita tahu sesuatu tentang prilaku manusia dan menganggapnya sebagai kebenaran, dan hal itu adalah suatu etik (alias universal), maka kebenaran sebagaimana kita ketahui itu adalah juga kebenaran bagi semua orang dari budaya apa pun.
Pendekatan emik dalam hal ini memang menawarkan sesuatu yang lebih obyektif. Karena tingkah laku kebudayaan memang sebaiknya dikaji dan dikategorikan menurut pandangan orang yang dikaji itu sendiri, berupa definisi yang diberikan oleh masyarakat yang mengalami peristiwa itu sendiri. Bahwa pengkonsepan seperti itu perlu dilakukan dan ditemukan dengan cara menganalisis proses kognitif masyarakat yang dikaji dan bukan dipaksakan secara etnosentrik, menurut pandangan peneliti.
Jika yang kita ketahui tentang prilaku manusia dan yang kita anggap sebagai kebenaran itu ternyata adalah suatu emik (alias bersifat khas-budaya), maka apa yang kita anggap kebenaran tersebut belum tentu merupakan kebenaran bagi orang dari budaya lain.
Secara sangat sederhana dapat saya simpulkan bahwa emik mengacu pada pandangan konselor terhadap kebudayaan klien, sedangkan etik mengacu pada pandangan konselor terhadap kebudayaan secara keseluruhan dalam proses konseling.
Jadi dengan konsep atau landasan teori maka dalam melakukan proses hubungan konseling dengan klien, maka pendekatan yang akan saya lakukan adalah memahami klien seutuhnya. Memahami klien seutuhnya ini berarti yang harus saya lakukan adalah bisa atau dapat memahami budaya klien secara spesifik yang mempengaruhi klien, memahami keunikan klien dan memahami manusia secara umum atau universal yang sifatnya keseluruhan(Etik).

C.    Bias Budaya Yang Menghambat Proses Konseling
a.      Usia
Setiap periode usia individu memiliki tugas perkembangan dan kebutuhan-kebutuhan untuk melaksanakan tugas perkembangan dan memenuhi berbagai kebutuhuan tersebut. Setiap periode usia mempunyai nilai-nilai budaya usia masing-masing. Hal itu terkadang menjadi masalah dalam pelaksanaan konseling karena adanya perbedaan kebutuhan, kebiasaan, gaya hidup dan nilai budaya tertentu dalam setiap rentangan usia.

Contoh:
Guru yang menganggap murid kurang ajar karena membahas masalah onani/ masturbasi. Pada golongan muda membahas soal sex bukan soal yang tabu lagi namun bagi sebagian guru yang usianya berbeda jauh dengan siswa menganggap hal itu adalah kurang ajar.

b.      Jenis Kelamin (Gender)
Perbedaan Jenis kelamin menjadi perbincangan sejak jaman dahulu perbedaan jenis kelamin mempengaruhi konseling karena terkadang konselor laki-laki mempunyai stereotip terhadap perempuan yang bersifat kurang mandiri, kurang tegas, dan kurang berani mengambil resiko. Konselor perempuan kadang menganggap laki-laki tidak boleh cengeng dan tegas. Namun, jika dalam proses konseling baik laki-laki atau perempuan menampakkan sikap yang tidak sepatutnya menurut gender mereka maka terkadang konselor menganggap aneh dan salah.


Contoh :
Konseli laki-laki ia kurang tegas, berbicara seperti perempuan dan sering menangis maka konselor di suatu tempat menyuruh konseli untuk tegas dalam berbicara selayaknya laki-laki.

c.       Ras dan Etnis
Ras adalah penggolongan bangsa berdasarkan ciri-ciri fisik; rumpun bangsa, Sedangkan suku merupakan masyarakat yang tergabung dalam satu kelompok. Perbedaan suku yang menjadi kendala dalam konseling karena masing- masing suku memiliki kebiasaan, falsafah hidup, dan nilai budaya yang berbeda- beda. Selain itu golongan minoritas terkadang disamaratakan oleh golongan mayoritas.

Contoh:
Konseli yang berasal dari suku bali dan konselor yang berasal dari suku jawa melaksanakan konseling.














BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Prasangka adalah anggapan kurang baik. Sehingga kalau kita maknai bahwa prasangka itu adalah suatu anggapan yang kurang baik terhadap seseorang. Sedangkan stereotip adalah sebuah pandangan terhadap seseorang atau kelompok kemudian pandangan tersebut digunakan pada setiap anggota kelompok tersebut. Hubungan strerotip dengan prasangka adalah bahwa streotip merupakan salah satu penyebab munculnya prasangka.
Dalam konseling lintas budaya digunakan perspektif etik dan emik, seorang konselor akan menggunakan dua pendekatan kebudayaan yang berbeda terhadap klien.. Etik merupakan penggunaan sudut pandang orang luar yang berjarak (dalam hal ini siapa yang mengamati) untuk menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat. Sedangkan, emik mengacu pada kebenaran yang bersifat khas-budaya misalnya, mencoba menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat dengan sudut pandang masyarakat itu sendiri.
Bias budaya yang menghambat proses konseling disebabkan faktor-faktor, antara lain; usia, jenis kelamin, ras dan etnik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar